![]() |
Kapal Tujuh |
Pada tanggal 4 Februari 1933 awak kapal Belanda HR.MS. 'De Zeven Provincien' atau Kapal Tujuh, memberontak terhadap opsir-opsirnya. Para pemimpin pemberontakan tersebut adalah tamtama Angkatan Laut Indonesia yaitu: J.K. Kawilarang, Martin Paradja, Gosal, Rumambi, Sungkono, Samsuddin, Kaunang, M.W. Pasumah, J. Hendrik Soedijana, Achmad, Tuhumana, J. Parimusra, J. Manuoutty, Pelupessy, dan disertai oleh seorang masinis Belanda yang progressif bernama M. Moshart.
Dan pada malam harinya sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang yang menandakan dimulainya pemberontakan pun ditiup. Para awak kapal mengambil alih dan dua perwira Belanda yang semula memimpin kapal yakni Vels dan Bolhouwer berhasil meloloskan diri dari pemberontak setelah menjebol jendela, melompat ke laut dan berenang ke daratan.
Dituliskan dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Bengkulu, karya Achmaddin Dalip dkk, Penyebab pecahnya pemberontakan tersebut adalah persoalan turunnya gaji dan dilakukannya pemecatan besar-besaran oleh pemerintah Belanda. Buruh dan pelaut pun menjadi korban pemecatan itu. Hal tersebut dilihat sebaga usaha kaum imperialis/kapitalis untuk mengeruk keuntungan lebih besar dan akhirnya menindas kaum buruh dan pelaut Indonesia.
Kemudian di hari kedua, pemimpin kaum pemberontakan tersebut mengumumkan suatu maklumat sebagai berikut:
"Kapal perang Zeven Provincien pada waktu ini berada di bawah kekuasaan kami, anak buah kapal Zeven Provincien berbangsa Indonesia. Kami bermaksud akan berlayar menuju Surabaya dan sehari sebelum tiba kami akan menyerahkan komando kembali kepada komandan semula. Maksud kami ialah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan beberapa waktu lalu segera dibebaskan. Keadaan dalam kapal aman, tidak ada paksaan dan tidak ada orang yang luka."
Dari maklumat itu jelas maksud dan tujuan dari para pemberontak. Mereka ingin menyatakan protes yang keras sehingga dapat terdengar ke seluruh Indonesia, bahkan sampai ke negeri Belanda dan seluruh dunia.
Mereka tahu bahwa hanya dengan satu kapal pada bagian dunia yang dikuasai kaum imperialisme itu, mereka tidak akan dapat melakukan pemberontakan yang lama. Dan mereka juga tahu bahwa akhirnya mereka akan ditangkap dan dihukum semuanya.
Sekali lagi mereka hanya ingin bersuara dan meminta hak mereka. Lalu sepanjang perjalanan Kapal Tujuh itu selalu saja mendapat hambatan dan perlawanan, seperti dari kapal perang Eridanus, kapal perang Gouden Leeuw, bahkan oleh beberapa kapal selam dan pesawat terbang.
Pada tanggal 10 Februari 1933, akhirnya mereka menghadapi kejadian yang sangat mengerikan yaitu mereka dijatuhi bom seberat 50 kg oleh pesawat Dornier, maka Kapal Tujuh dengan navigator Kawilarang itu pun menghentikan segala kegiatannya.
Ternyata kapal tersebut tidak dilengkapi dengan meriam penangkis serangan udara. Alhasil, Martin Paradja yang memimpin pemberontakan tewas dalam pemboman itu. Dan 20 awak kapal Indonesia juga tewas beserta 3 orang awak kapal Belanda.
Dalam buku Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia, karya Mayor Jenderal A.J. Mokogirta, dituliskan bahwa dari pemberontakan di Kapal Tujuh tersebut kita tahu bahwa diantara kalangan angkatan bersenjata Belanda, terdapat orang-orang Indonesia yang bersemangat anti kolonialisme dan anti imperialisme. Sayangnya tindakan mereka berakhir dengan kegagalan fisik, namun sebenarnya tercatat dalam sejarah bahwa mereka telah memperoleh kemenangan moril dan psikologis yang besar.
Dari 164 orang yang telah dijatuhkan hukuman karena memberontak itu, terdapat pula dua orang putra dari Bengkulu yaitu:
1. M. Abas bin Aziz, tempat tinggal asal Pasar Padang Jati, Bengkulu. Alamat terakhir Jalan Kebon Kacang 38 No. 13 Jakarta Pusat dan meninggal dunia tahun 1980.
2. Baharun Wapis bin Merana, tempat tinggal asal Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Alamat terakhir, Surabaya, dan meninggal dunia di Surabaya.
Sejarah mengenang mereka sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak asasi. Dengan semangat, mereka melawan kekuatan imperialisme dan kolonialisme sekalipun mereka sadar bahwa perlawanan mereka akan berujung hukuman. Namun, pemberontakan Kapal Tujuh itu adalah pemberontakan anti-kolonial pertama di kalangan para pelaut Indonesia. Mimpi akan kemerdekaanlah yang mendorong mereka semua memberontak dari jerat penjajah saat itu.
Dan pada malam harinya sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang yang menandakan dimulainya pemberontakan pun ditiup. Para awak kapal mengambil alih dan dua perwira Belanda yang semula memimpin kapal yakni Vels dan Bolhouwer berhasil meloloskan diri dari pemberontak setelah menjebol jendela, melompat ke laut dan berenang ke daratan.
Dituliskan dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Bengkulu, karya Achmaddin Dalip dkk, Penyebab pecahnya pemberontakan tersebut adalah persoalan turunnya gaji dan dilakukannya pemecatan besar-besaran oleh pemerintah Belanda. Buruh dan pelaut pun menjadi korban pemecatan itu. Hal tersebut dilihat sebaga usaha kaum imperialis/kapitalis untuk mengeruk keuntungan lebih besar dan akhirnya menindas kaum buruh dan pelaut Indonesia.
Kemudian di hari kedua, pemimpin kaum pemberontakan tersebut mengumumkan suatu maklumat sebagai berikut:
"Kapal perang Zeven Provincien pada waktu ini berada di bawah kekuasaan kami, anak buah kapal Zeven Provincien berbangsa Indonesia. Kami bermaksud akan berlayar menuju Surabaya dan sehari sebelum tiba kami akan menyerahkan komando kembali kepada komandan semula. Maksud kami ialah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan beberapa waktu lalu segera dibebaskan. Keadaan dalam kapal aman, tidak ada paksaan dan tidak ada orang yang luka."
Dari maklumat itu jelas maksud dan tujuan dari para pemberontak. Mereka ingin menyatakan protes yang keras sehingga dapat terdengar ke seluruh Indonesia, bahkan sampai ke negeri Belanda dan seluruh dunia.
Mereka tahu bahwa hanya dengan satu kapal pada bagian dunia yang dikuasai kaum imperialisme itu, mereka tidak akan dapat melakukan pemberontakan yang lama. Dan mereka juga tahu bahwa akhirnya mereka akan ditangkap dan dihukum semuanya.
Sekali lagi mereka hanya ingin bersuara dan meminta hak mereka. Lalu sepanjang perjalanan Kapal Tujuh itu selalu saja mendapat hambatan dan perlawanan, seperti dari kapal perang Eridanus, kapal perang Gouden Leeuw, bahkan oleh beberapa kapal selam dan pesawat terbang.
Pada tanggal 10 Februari 1933, akhirnya mereka menghadapi kejadian yang sangat mengerikan yaitu mereka dijatuhi bom seberat 50 kg oleh pesawat Dornier, maka Kapal Tujuh dengan navigator Kawilarang itu pun menghentikan segala kegiatannya.
Ternyata kapal tersebut tidak dilengkapi dengan meriam penangkis serangan udara. Alhasil, Martin Paradja yang memimpin pemberontakan tewas dalam pemboman itu. Dan 20 awak kapal Indonesia juga tewas beserta 3 orang awak kapal Belanda.
Dalam buku Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia, karya Mayor Jenderal A.J. Mokogirta, dituliskan bahwa dari pemberontakan di Kapal Tujuh tersebut kita tahu bahwa diantara kalangan angkatan bersenjata Belanda, terdapat orang-orang Indonesia yang bersemangat anti kolonialisme dan anti imperialisme. Sayangnya tindakan mereka berakhir dengan kegagalan fisik, namun sebenarnya tercatat dalam sejarah bahwa mereka telah memperoleh kemenangan moril dan psikologis yang besar.
Dari 164 orang yang telah dijatuhkan hukuman karena memberontak itu, terdapat pula dua orang putra dari Bengkulu yaitu:
1. M. Abas bin Aziz, tempat tinggal asal Pasar Padang Jati, Bengkulu. Alamat terakhir Jalan Kebon Kacang 38 No. 13 Jakarta Pusat dan meninggal dunia tahun 1980.
2. Baharun Wapis bin Merana, tempat tinggal asal Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Alamat terakhir, Surabaya, dan meninggal dunia di Surabaya.
Sejarah mengenang mereka sebagai pahlawan yang memperjuangkan hak asasi. Dengan semangat, mereka melawan kekuatan imperialisme dan kolonialisme sekalipun mereka sadar bahwa perlawanan mereka akan berujung hukuman. Namun, pemberontakan Kapal Tujuh itu adalah pemberontakan anti-kolonial pertama di kalangan para pelaut Indonesia. Mimpi akan kemerdekaanlah yang mendorong mereka semua memberontak dari jerat penjajah saat itu.
No comments