![]() |
Manifesto Politik yang diluncurkan Presiden RI pertama Sukarno mengubah haluan politik dan ekonomi Indonesia pada periode 1959 secara drastik. Dalam dokumen bersejarah yang disusun berdasarkan pidato Sukarno pada 17 Agustus 1959 tersebut, retooling merupakan salah satu program yang dilaksanakan, terutama pada bidang politik dan ekonomi.
Ditulis dalam buku Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat yang diterbitkan Permata Surabaya pada era Demokrasi Terpimpin disebutkan, retooling merupakan salah satu usaha-usaha pokok atau program umum dalam mengatasi sebab-sebab kegagalan revolusi Indonesia selama 14 tahun sejak merdeka pada 17 Agustus 1945.
Pada halaman 143 dalam buku tersebut disebutkan, dalam melaksanakan Demokrasi Terpimpin, harus dilakukan retooling dan herordening serta koordinasi dalam segala bidang. Secara harfiah retooling adalah pembersihan. Bila diterapkan secara politik, retooling memiliki makna pembersihan negara dari unsur-unsur yang dianggap tidak sesuai dengan jalan revolusi saat itu.
Adapun lembaga-lembaga yang mengalami retooling saat itu adalah hampir mencakup keseluruhan. Diantaranya badan eksekutif, yaitu Pemerintah, kepegawaian dan sebagainya, baik secara vertikal, maupun horizontal. Retooling juga berlaku terhadap badan legislatif seperti DPR, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polisi.
Kemudian, sistem liberalisme diganti menjadi Demokrasi Terpimpin. Sistem kepartaian disederhanakan dan Pemerintah akan mengadakan Undang-undang Pemilihan Umum yang baru.
Retooling juga berlaku terhadap alat-alat produksi dan alat-alat distribusi. Semuanya dirorganisasi, dibelokkan setirnya kearah pelaksanaan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dengan menggunakan relnya Demokrasi Terpimpin.
Semua alat vital dalam produksi dan semua alat vital dalam distribusi harus dikuasai atas sedikitnya diawasi oleh Pemerintah. Segala modal dan tenaga yang terbukti progressif dapat diikutsertakan dalam pembangunan Indonesia.
Lalu tenaga modal 'funds and forces' bukan asli yang sudah menetap di Indonesia, yang menyetujui, lagi pula sanggup membantu terlaksananya program Kabinet Kerja akan mendapat tempat dan kesempatan yang wajar dan dapat disalurkan kearah pembangunan perindustrian, misalnya dalam sektor industri menengah yang masih terbukan bagi inisiatif partikelir.
Program ini dalam bidang ekonomi juga menuntut dicoretnya sama sekali gak eigendom tanah dari hukum pertanahan Indonesia untuk kemudian hanya mengenal hak milik tanah bagi orang Indonesia sesuai dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 33 Undang-undang 1945 berbunyi "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4).
Secara praktik, sebagaimana pidato Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1960, retooling pada akhirnya menghabiskan aparatur pemerintah yang dicap sebagai pengabdi kolonialisme dan kapitalisme. Orang-orang yang otak dan hatinya telah berdaki berkarat tak dapat mensesuaikan diri dengan Manifesto Politik-Usdek disingkirkan dari tubuh pemerintahan.
Menurut Sukarno, saat itu, masih banyak orang-orang dalam kalangan apparatur Negara yang tidak mengerti artinya tenaga massa dan semangat massa, bahkan menderita penyakit massa-phobi dan rakyat-phobi yaitu takut kepada massa dan takut kepada rakyat.
Pelaksanaan retooling ini sebagai salah satu prinsip pelaksanaan Revolusi dari atas dan dari bawah mempunyai peranan yang menentukan. Dari atas berarti dengan adanya retooling terhadap aparat dan sistim dari bawah berarti karena retooling aparat dan sistim dilakukan sesuai dengan desakan Rakyat dan didukung pula oleh Rakyat.
Tentu saja, jelas Bung Karno, pelaksanaan retooling ini tidak boleh menyimpang dari Program Revolusi. Ini perlu diperingatkan karena retooling ini bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Retooling sesuai dengan Manifesto Politik-Usdek tidak bisa lain bahwa semua badan-badan perjuangan dan badan-badan pemerintah atau badan-badan ekonomi yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar '45.
Orang-orang yang diberi tugas, tapi tidak berhati penuh atau tidak pecus untuk melaksanakan Manipol diretool dan diganti dengan orang-orang yang benar-benar mau melaksanakan Manipol. Semua peralatan lama yang korup yang birokratis yang tidak mampu yang tidak seirama dengan tuntutan zaman diganti dengan peralatan baru yang membela kepentingan nasional Rakyat Indonesia.
Retooling juga tercermin dengan dibentuknya Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Selanjutnya Pemerintah membentuk Front Nasional anti imperialis sebagai landasan untuk membangkitan aksi-aksi massa adalah sesuai dengan Manipol-Usdek.
Retooling dalam bidang kepartaian dengan dibubarkannya partai-partai Masyumi-PSI yang dianggap membahayakan Negara. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sesuai dengan perasaan dan pikiran Rakyat dan sesuai dengan tuntutan revolusi saat itu.
Namun Sukarno mengingatkan, kebijakan retooling ini jangan dimaknai bahwa Pemerintah memusuhi Islam.
"Memang ada orang-orang yang denga cara amat licin sekali menghasut-hasut bahwa Islam berada dalam bahaya. Hasutan yang demikian itu adalah hasutan yang jahat. Sebab pemerintah tidak membahayakan Islam sebaliknya malah mengagungkan semua agama. Pemerintah bertindak terhadap partai yang membahayakan Negara," kata Bung Karno menjelaskan mengenai kebijakannya ini.
Dengan kebijakan ini, Sukarno berharap hanya partai-partai yang mendukung Undang-undang Dasar '45 Manipol dan Usdek yang dapat hidup.
"Dengan tegas saya katakan disini bahwa partai-partai itu dengan memenuhi semua syarat-syarat perundang-undangan kepartaian diberi hak hidup, diberi hak bergerak, diberi hak perwakilan, sudah barang tentu dalam rangka Demokrasi Terpimpin. Partai-partai yang demikian itu dapat memberi sumbangan besar kepada terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat," ungkapnya.
Sementara retooling dibidang ekonomi dilaksanakan dengan menjadikan ekonomi sektor negara memegang posisi komando, sesuai dengan Ekonomi Terpimpin. Selanjutnya, retooling ini terus dilaksanakan hingga pemerintah menguasai seluruh sektor swasta yang menguasai hajat hidup orang banyak.
"Maksud retooling diperusahaan-perusahaan Negara dan disemua PT-PT Negara dengan membentuk dewan-dewan yang berkewajiban membantu pimpinan perusahaan untuk mempertinggi kwantitet dan kwalitet produksi dan untuk mengawasi kaum pencoleng-pencoleng, kaum koruptor-koruptor, kaum penipu-penipu, kaum pencuri-pencuri kekayaan Negara, adalah sesuai dengan tuntutan kaum buruh dan seluruh rakyat serta sesuai pula dengan tugas nasional daripada perusahaan-perusahaan Negara," demikian Bung Karno.
Ditulis dalam buku Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat yang diterbitkan Permata Surabaya pada era Demokrasi Terpimpin disebutkan, retooling merupakan salah satu usaha-usaha pokok atau program umum dalam mengatasi sebab-sebab kegagalan revolusi Indonesia selama 14 tahun sejak merdeka pada 17 Agustus 1945.
Pada halaman 143 dalam buku tersebut disebutkan, dalam melaksanakan Demokrasi Terpimpin, harus dilakukan retooling dan herordening serta koordinasi dalam segala bidang. Secara harfiah retooling adalah pembersihan. Bila diterapkan secara politik, retooling memiliki makna pembersihan negara dari unsur-unsur yang dianggap tidak sesuai dengan jalan revolusi saat itu.
Adapun lembaga-lembaga yang mengalami retooling saat itu adalah hampir mencakup keseluruhan. Diantaranya badan eksekutif, yaitu Pemerintah, kepegawaian dan sebagainya, baik secara vertikal, maupun horizontal. Retooling juga berlaku terhadap badan legislatif seperti DPR, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polisi.
Kemudian, sistem liberalisme diganti menjadi Demokrasi Terpimpin. Sistem kepartaian disederhanakan dan Pemerintah akan mengadakan Undang-undang Pemilihan Umum yang baru.
Retooling juga berlaku terhadap alat-alat produksi dan alat-alat distribusi. Semuanya dirorganisasi, dibelokkan setirnya kearah pelaksanaan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dengan menggunakan relnya Demokrasi Terpimpin.
Semua alat vital dalam produksi dan semua alat vital dalam distribusi harus dikuasai atas sedikitnya diawasi oleh Pemerintah. Segala modal dan tenaga yang terbukti progressif dapat diikutsertakan dalam pembangunan Indonesia.
Lalu tenaga modal 'funds and forces' bukan asli yang sudah menetap di Indonesia, yang menyetujui, lagi pula sanggup membantu terlaksananya program Kabinet Kerja akan mendapat tempat dan kesempatan yang wajar dan dapat disalurkan kearah pembangunan perindustrian, misalnya dalam sektor industri menengah yang masih terbukan bagi inisiatif partikelir.
Program ini dalam bidang ekonomi juga menuntut dicoretnya sama sekali gak eigendom tanah dari hukum pertanahan Indonesia untuk kemudian hanya mengenal hak milik tanah bagi orang Indonesia sesuai dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 33 Undang-undang 1945 berbunyi "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (Pasal 33 Ayat 1); ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Pasal 33 Ayat 2); ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (Pasal 33 Ayat 3); dan ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” (Pasal 33 Ayat 4).
Secara praktik, sebagaimana pidato Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1960, retooling pada akhirnya menghabiskan aparatur pemerintah yang dicap sebagai pengabdi kolonialisme dan kapitalisme. Orang-orang yang otak dan hatinya telah berdaki berkarat tak dapat mensesuaikan diri dengan Manifesto Politik-Usdek disingkirkan dari tubuh pemerintahan.
Menurut Sukarno, saat itu, masih banyak orang-orang dalam kalangan apparatur Negara yang tidak mengerti artinya tenaga massa dan semangat massa, bahkan menderita penyakit massa-phobi dan rakyat-phobi yaitu takut kepada massa dan takut kepada rakyat.
Pelaksanaan retooling ini sebagai salah satu prinsip pelaksanaan Revolusi dari atas dan dari bawah mempunyai peranan yang menentukan. Dari atas berarti dengan adanya retooling terhadap aparat dan sistim dari bawah berarti karena retooling aparat dan sistim dilakukan sesuai dengan desakan Rakyat dan didukung pula oleh Rakyat.
Tentu saja, jelas Bung Karno, pelaksanaan retooling ini tidak boleh menyimpang dari Program Revolusi. Ini perlu diperingatkan karena retooling ini bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Retooling sesuai dengan Manifesto Politik-Usdek tidak bisa lain bahwa semua badan-badan perjuangan dan badan-badan pemerintah atau badan-badan ekonomi yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar '45.
Orang-orang yang diberi tugas, tapi tidak berhati penuh atau tidak pecus untuk melaksanakan Manipol diretool dan diganti dengan orang-orang yang benar-benar mau melaksanakan Manipol. Semua peralatan lama yang korup yang birokratis yang tidak mampu yang tidak seirama dengan tuntutan zaman diganti dengan peralatan baru yang membela kepentingan nasional Rakyat Indonesia.
Retooling juga tercermin dengan dibentuknya Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Selanjutnya Pemerintah membentuk Front Nasional anti imperialis sebagai landasan untuk membangkitan aksi-aksi massa adalah sesuai dengan Manipol-Usdek.
Retooling dalam bidang kepartaian dengan dibubarkannya partai-partai Masyumi-PSI yang dianggap membahayakan Negara. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sesuai dengan perasaan dan pikiran Rakyat dan sesuai dengan tuntutan revolusi saat itu.
Namun Sukarno mengingatkan, kebijakan retooling ini jangan dimaknai bahwa Pemerintah memusuhi Islam.
"Memang ada orang-orang yang denga cara amat licin sekali menghasut-hasut bahwa Islam berada dalam bahaya. Hasutan yang demikian itu adalah hasutan yang jahat. Sebab pemerintah tidak membahayakan Islam sebaliknya malah mengagungkan semua agama. Pemerintah bertindak terhadap partai yang membahayakan Negara," kata Bung Karno menjelaskan mengenai kebijakannya ini.
Dengan kebijakan ini, Sukarno berharap hanya partai-partai yang mendukung Undang-undang Dasar '45 Manipol dan Usdek yang dapat hidup.
"Dengan tegas saya katakan disini bahwa partai-partai itu dengan memenuhi semua syarat-syarat perundang-undangan kepartaian diberi hak hidup, diberi hak bergerak, diberi hak perwakilan, sudah barang tentu dalam rangka Demokrasi Terpimpin. Partai-partai yang demikian itu dapat memberi sumbangan besar kepada terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat," ungkapnya.
Sementara retooling dibidang ekonomi dilaksanakan dengan menjadikan ekonomi sektor negara memegang posisi komando, sesuai dengan Ekonomi Terpimpin. Selanjutnya, retooling ini terus dilaksanakan hingga pemerintah menguasai seluruh sektor swasta yang menguasai hajat hidup orang banyak.
"Maksud retooling diperusahaan-perusahaan Negara dan disemua PT-PT Negara dengan membentuk dewan-dewan yang berkewajiban membantu pimpinan perusahaan untuk mempertinggi kwantitet dan kwalitet produksi dan untuk mengawasi kaum pencoleng-pencoleng, kaum koruptor-koruptor, kaum penipu-penipu, kaum pencuri-pencuri kekayaan Negara, adalah sesuai dengan tuntutan kaum buruh dan seluruh rakyat serta sesuai pula dengan tugas nasional daripada perusahaan-perusahaan Negara," demikian Bung Karno.
No comments