![]() |
Bung Hatta |
“Mendayung di antara dua karang” itulah yang digagas oleh Mohammad Hatta dalam politik Internasional Indonesia. Maksud dari konsep itu bukanlah menjadikan Indonesia memilih jalan tengah antar dua blok yang berpengaruh (Komunis dan Liberal), tetapi politik internasional Indonesia didasarkan tanpa sentimen dan lebih memperhatikan aspek realitas dan kepentingan negara.
Hal ini pernah dikemukakan oleh Hatta dalam pidatonya sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 2 September 1948;
“Tiap-tiap orang diantara kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi hendaknya didasarkan kepada “realitiet”, kepada kepentingan Negara setiap waktu.”
Inilah yang dipraktikkan Indonesia pada tahun 1959-1960, ketika Sukarno melontarkan Manipol-USDEK dan NASAKOM untuk mempertahankan revolusi Indonesia. Indonesia menolak secara tegas Neo-Kolonialisme dan Neo-Liberalisme (Nekolim) yang mulai mengepung Indonesia, Malaysia dengan sokongan Inggris, Australia, dan New Zealand.
Demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Sukarno setelah melihat terlalu lamanya Konstituante mengeluarkan Undang-undang baru telah memperkuat posisi Sukarno secara absolut.
Di satu sisi lain, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang dilihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Sukarno serta munculnya Indonesia menjadi kekuatan militer yang di perhitungkan di Asia.
Lantas mengarah ke manakah politik Luar Negeri yang dinahkodai Sukarno, setelah manuver poltik dalam negeri dengan menyusun Manipol USDEK, Nasakom, dan RESOPIM? Jika kembali pada konsep yang dicetuskan Hatta, maka akan terlihat kecenderungan politik Luar Negeri Indonesia yang selalu melihat realitas demi terciptanya kesejahteraan dan tercapainya kepentingan bangsa.
Pertama, pembentukan poros-poros. Mungkin sudah tidak asing lagi mendengar istilah poros Jakarta-Peking. Tahun 1950 Indonesia adalah negara pertama yang mengakui RRC di bawah pemerintahan Komunis, dan kedekatan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman Arnold Mononutu sebagai Duta Besar RI untuk Cina yang dibarengi dengan penandatanganan nota kerjasama RI-Cina.
Kemudian pada awal 1960-an terciptalah poros Jakarta-Peking yang kemudian berkembang menjadi poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Ketika menilik kondisi Indonesia pada saat itu, poros Jakarta-Peking-Pyongyang tidak semata-mata tercipta karena kerjasama ekonomi, tetapi Indonesia berusaha untuk menggandeng Korea Utara pimpinan militer Kim Il Sung serta China yang dipimpin Mao Zedong dalam kebijakan konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Memang agresifitas politik Luar Negeri Indonesia tidak bisa diputuskan dari politik Dalam Negeri yang gencar mendengunkan Anti-Nekolim dan lebih mengarah ke Uni Soviet. Dikutip dalam buku Sejarah Indonesia Modern karangan Ricklef, hal ini juga dilakukan Indonesia dengan Kamboja dan Vietnam. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan, Sukarno mengumumkan Poros Jakarta-Phonmpenh-Hanoi-Bejing-Pyongyang yang anti imperialis.
Kedua, Gerakan Non-blok. Atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan Non-Aligned Movement (NAM) yang diprakarsai oleh lima negara yaitu Indonesia (Sukarno), Mesir (Gamel Abdel Naser), India (Jawaharlal Nehru), Ghana (Kwame Nukrumah), dan Yugoslavia (Josep Bros Tito).
Melansir Wikipedia, pertemuan pertama dilaksanakan di Beograd yang dihadiri oleh 25 anggota, sebelas dari Asia dan Afrika dan tiga negara sisanya adalah Kuba, Siprus, dan Yugoslavia. Organisasi ini didedikasikan untuk melawan kolonialisme, imperialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, agresi militer, dan semua yang berhubungan dengan kependudukan, interfensi, dan hegemoni negara lain.
Ketiga, Politik Mercusuar adalah salah satu politik yang dijalankan Sukarno pada masa demokrasi terpimpin yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar yang menerangi jalan bagi New Emerging Force (Nefo) atau kekuatan yang baru tumbuh di dunia.
Pembangunan pun digencarkan, di antaranya pembuatan jalan, tugu Monas, Stadion Gelora Bung Karno, toko serba ada “Sarinah” di Semanggi, dan menyelenggarakan Game of the New Emerging Force (Ganefo). Semua ini dilakukan untuk menjadikan Indonesia bisa dipandang oleh dunia, seperti dituliskan Cindy Adams dalam biografi yang berjudul “Sukarno Penyambung Lidah Rakyat”.
Itulah yang maksud Hatta dalam istilah “mendayung di antara dua karang”. Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan bangsa janganlah dijadikan obyek antara dua kubu yaitu Barat (Liberal) atau Timur (Komunis).
Tetapi Indonesialah yang menjadi subyek yang menentukan karang manakah yang akan dituju atau bahkan untuk memilih jalur tengah dengan tidak bertujuan ke salah satu dari dua karang tersebut, dengan tetap memperhatikan realitas kondisi bangsa yang bertujuan menyejahterakan dan memakmurkan Bangsa Indonesia.
Hal ini pernah dikemukakan oleh Hatta dalam pidatonya sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 2 September 1948;
“Tiap-tiap orang diantara kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi hendaknya didasarkan kepada “realitiet”, kepada kepentingan Negara setiap waktu.”
Inilah yang dipraktikkan Indonesia pada tahun 1959-1960, ketika Sukarno melontarkan Manipol-USDEK dan NASAKOM untuk mempertahankan revolusi Indonesia. Indonesia menolak secara tegas Neo-Kolonialisme dan Neo-Liberalisme (Nekolim) yang mulai mengepung Indonesia, Malaysia dengan sokongan Inggris, Australia, dan New Zealand.
Demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Sukarno setelah melihat terlalu lamanya Konstituante mengeluarkan Undang-undang baru telah memperkuat posisi Sukarno secara absolut.
Di satu sisi lain, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang dilihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Sukarno serta munculnya Indonesia menjadi kekuatan militer yang di perhitungkan di Asia.
Lantas mengarah ke manakah politik Luar Negeri yang dinahkodai Sukarno, setelah manuver poltik dalam negeri dengan menyusun Manipol USDEK, Nasakom, dan RESOPIM? Jika kembali pada konsep yang dicetuskan Hatta, maka akan terlihat kecenderungan politik Luar Negeri Indonesia yang selalu melihat realitas demi terciptanya kesejahteraan dan tercapainya kepentingan bangsa.
Pertama, pembentukan poros-poros. Mungkin sudah tidak asing lagi mendengar istilah poros Jakarta-Peking. Tahun 1950 Indonesia adalah negara pertama yang mengakui RRC di bawah pemerintahan Komunis, dan kedekatan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman Arnold Mononutu sebagai Duta Besar RI untuk Cina yang dibarengi dengan penandatanganan nota kerjasama RI-Cina.
Kemudian pada awal 1960-an terciptalah poros Jakarta-Peking yang kemudian berkembang menjadi poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Ketika menilik kondisi Indonesia pada saat itu, poros Jakarta-Peking-Pyongyang tidak semata-mata tercipta karena kerjasama ekonomi, tetapi Indonesia berusaha untuk menggandeng Korea Utara pimpinan militer Kim Il Sung serta China yang dipimpin Mao Zedong dalam kebijakan konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Memang agresifitas politik Luar Negeri Indonesia tidak bisa diputuskan dari politik Dalam Negeri yang gencar mendengunkan Anti-Nekolim dan lebih mengarah ke Uni Soviet. Dikutip dalam buku Sejarah Indonesia Modern karangan Ricklef, hal ini juga dilakukan Indonesia dengan Kamboja dan Vietnam. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan, Sukarno mengumumkan Poros Jakarta-Phonmpenh-Hanoi-Bejing-Pyongyang yang anti imperialis.
Kedua, Gerakan Non-blok. Atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan Non-Aligned Movement (NAM) yang diprakarsai oleh lima negara yaitu Indonesia (Sukarno), Mesir (Gamel Abdel Naser), India (Jawaharlal Nehru), Ghana (Kwame Nukrumah), dan Yugoslavia (Josep Bros Tito).
Melansir Wikipedia, pertemuan pertama dilaksanakan di Beograd yang dihadiri oleh 25 anggota, sebelas dari Asia dan Afrika dan tiga negara sisanya adalah Kuba, Siprus, dan Yugoslavia. Organisasi ini didedikasikan untuk melawan kolonialisme, imperialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, agresi militer, dan semua yang berhubungan dengan kependudukan, interfensi, dan hegemoni negara lain.
Ketiga, Politik Mercusuar adalah salah satu politik yang dijalankan Sukarno pada masa demokrasi terpimpin yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar yang menerangi jalan bagi New Emerging Force (Nefo) atau kekuatan yang baru tumbuh di dunia.
Pembangunan pun digencarkan, di antaranya pembuatan jalan, tugu Monas, Stadion Gelora Bung Karno, toko serba ada “Sarinah” di Semanggi, dan menyelenggarakan Game of the New Emerging Force (Ganefo). Semua ini dilakukan untuk menjadikan Indonesia bisa dipandang oleh dunia, seperti dituliskan Cindy Adams dalam biografi yang berjudul “Sukarno Penyambung Lidah Rakyat”.
Itulah yang maksud Hatta dalam istilah “mendayung di antara dua karang”. Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan bangsa janganlah dijadikan obyek antara dua kubu yaitu Barat (Liberal) atau Timur (Komunis).
Tetapi Indonesialah yang menjadi subyek yang menentukan karang manakah yang akan dituju atau bahkan untuk memilih jalur tengah dengan tidak bertujuan ke salah satu dari dua karang tersebut, dengan tetap memperhatikan realitas kondisi bangsa yang bertujuan menyejahterakan dan memakmurkan Bangsa Indonesia.
No comments