![]() |
Presiden dan wakil presiden pertama negeri ini sangat dielu-elukan masyarakat banyak. Betapa tidak, di bawah kepemimpinan mereka sejarah-sejarah Indonesia mulai terukir dan mulai menampakkan cahaya benderangnya. Digambarkan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah partner tak terpisahkan dan selalu bahu-membahu membangun negara dengan penuh kekompakan. Kenyataannya, manusiawi sekali sebab mereka berdua juga pernah berselisih.
Dari berbagai sumber diangkum bahwa bentuk perselisihan di antara mereka yang paling terlihat adalah kepercayaan Hatta yang sangat besar terhadap demokrasi. Dalam prinsip kenegaraannya, Hatta berprinsip bahwa setiap warga negara berhak mengambil bagian untuk membangun negara, oleh karena itu jumlah partai tidak boleh dibatasi.
Di sisi lain Sukarno menganggap bahwa jumlah partai harus dibatasi agar mudah dikendalikan. Sementara itu Sukarno yang idealis berupaya untuk mempersatukan semua golongan (NASAKOM) agar meminimalisir perselisihan. Dan sebaliknya, Hatta beranggapan bahwa mempersatukan paham dan budaya yang berbeda malah akan menghilangkan asas masing-masing.
Akhirnya tiba juga masa ketika pertentangan Dwitunggal ini benar-benar tidak terjembatani lagi. Mimpi Hatta tentang Indonesia yang mendorong kebebasan multipartai, dinaungi oleh demokrasi parlementer, serta menerapkan sistem federalisme (pemerintahan desentralisasi) tidak disukai oleh Sukarno.
Dalam kekecewaan, Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri Hatta membuka peluang bagi Sukarno untuk mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin (1959). Kekecewaannya terhadap keputusan Sukarno ini dituliskannya dalam buku "Demokrasi Kita" yang akhirnya dilarang beredar oleh Presiden Sukarno.
Selepas mundur dari jabatan wapres pada 1 Desember 1956, jangan dibayangkan Bung Hatta menikmati masa pensiun dengan bergelimang harta dari kiprah politiknya yang cemerlang, dapat uang pensiun yang besar, bersenang-senang menikmati masa tua dengan main golf atau bersantai di kapal pesiar.
Mantan wakil presiden pertama Indonesia itu harus harus berjuang susah payah untuk membayar tagihan listrik rumah di jalan Diponegoro 57. Selain keteteran membayar listrik, gas, dan air, Bung Hatta bahkan tidak mampu melunasi pajak mobil dan tagihan biaya telepon di kediamannya di Megamendung. Sebagai pensiunan, Bung Hatta hanya mendapatkan Rp 1.000 sebulan, sebuah nilai yang sangat sedikit. Mengingat pasca mundurnya Bung Hatta, perekonomian Indonesia hancur dan harga-harga melambung tinggi hingga puluhan kali lipat.
Tapi terlepas dari kondisi perekonomian itu, mungkin penyebab utama kesulitan ekonomi Hatta di masa pensiunnya adalah karena ia adalah sosok yang terlalu jujur dan tidak pernah berupaya memperkaya diri dalam kekuasaan politiknya. Bahkan dalam suatu kesempatan, Hatta memerintahkan sekretaris pribadinya utk mengembalikan dana taktis sebagai wapres sejumlah Rp25 ribu padahal secara normatif itu tidak perlu dilakukan.
Di samping itu, sebetulnya ada banyak perusahaan asing yang menawari dirinya menjadi komisaris utama, tapi semuanya ditolak, apa alasannya?
Sedikit banyak keputusan Hatta untuk mundur sebagai wapres adalah bentuk protes kepada banyak kebijakan Bung Karno yang ia nilai merugikan masyakarat. Dalam perspektif itu, Hatta khawatir rakyat akan berpikiran buruk dan menuduhnya mundur dari jabatan wapres untuk kepentingan bisnis dan bukan murni sebagai lambang dedikasinya pada rakyat.
Dalam masa transisi kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, Bung Hatta pernah dipercaya oleh Presiden Soeharto menjadi pengawas korupsi di pejabat negara dan militer beserta AH Nasution. Karena mungkin akhirnya terlalu banyak pihak yang ketahuan korupsi oleh Bung Hatta, dkk. Hasil laporan tersebut tidak pernah dikemukakan pada publik.
Drs Mohammad Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Pemerintah Orde Baru memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan Bung Karno. Baru pada 7 November 2012, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno ditetapkan secara resmi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari berbagai sumber diangkum bahwa bentuk perselisihan di antara mereka yang paling terlihat adalah kepercayaan Hatta yang sangat besar terhadap demokrasi. Dalam prinsip kenegaraannya, Hatta berprinsip bahwa setiap warga negara berhak mengambil bagian untuk membangun negara, oleh karena itu jumlah partai tidak boleh dibatasi.
Di sisi lain Sukarno menganggap bahwa jumlah partai harus dibatasi agar mudah dikendalikan. Sementara itu Sukarno yang idealis berupaya untuk mempersatukan semua golongan (NASAKOM) agar meminimalisir perselisihan. Dan sebaliknya, Hatta beranggapan bahwa mempersatukan paham dan budaya yang berbeda malah akan menghilangkan asas masing-masing.
Akhirnya tiba juga masa ketika pertentangan Dwitunggal ini benar-benar tidak terjembatani lagi. Mimpi Hatta tentang Indonesia yang mendorong kebebasan multipartai, dinaungi oleh demokrasi parlementer, serta menerapkan sistem federalisme (pemerintahan desentralisasi) tidak disukai oleh Sukarno.
Dalam kekecewaan, Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri Hatta membuka peluang bagi Sukarno untuk mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin (1959). Kekecewaannya terhadap keputusan Sukarno ini dituliskannya dalam buku "Demokrasi Kita" yang akhirnya dilarang beredar oleh Presiden Sukarno.
Selepas mundur dari jabatan wapres pada 1 Desember 1956, jangan dibayangkan Bung Hatta menikmati masa pensiun dengan bergelimang harta dari kiprah politiknya yang cemerlang, dapat uang pensiun yang besar, bersenang-senang menikmati masa tua dengan main golf atau bersantai di kapal pesiar.
Mantan wakil presiden pertama Indonesia itu harus harus berjuang susah payah untuk membayar tagihan listrik rumah di jalan Diponegoro 57. Selain keteteran membayar listrik, gas, dan air, Bung Hatta bahkan tidak mampu melunasi pajak mobil dan tagihan biaya telepon di kediamannya di Megamendung. Sebagai pensiunan, Bung Hatta hanya mendapatkan Rp 1.000 sebulan, sebuah nilai yang sangat sedikit. Mengingat pasca mundurnya Bung Hatta, perekonomian Indonesia hancur dan harga-harga melambung tinggi hingga puluhan kali lipat.
Tapi terlepas dari kondisi perekonomian itu, mungkin penyebab utama kesulitan ekonomi Hatta di masa pensiunnya adalah karena ia adalah sosok yang terlalu jujur dan tidak pernah berupaya memperkaya diri dalam kekuasaan politiknya. Bahkan dalam suatu kesempatan, Hatta memerintahkan sekretaris pribadinya utk mengembalikan dana taktis sebagai wapres sejumlah Rp25 ribu padahal secara normatif itu tidak perlu dilakukan.
Di samping itu, sebetulnya ada banyak perusahaan asing yang menawari dirinya menjadi komisaris utama, tapi semuanya ditolak, apa alasannya?
Sedikit banyak keputusan Hatta untuk mundur sebagai wapres adalah bentuk protes kepada banyak kebijakan Bung Karno yang ia nilai merugikan masyakarat. Dalam perspektif itu, Hatta khawatir rakyat akan berpikiran buruk dan menuduhnya mundur dari jabatan wapres untuk kepentingan bisnis dan bukan murni sebagai lambang dedikasinya pada rakyat.
Dalam masa transisi kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, Bung Hatta pernah dipercaya oleh Presiden Soeharto menjadi pengawas korupsi di pejabat negara dan militer beserta AH Nasution. Karena mungkin akhirnya terlalu banyak pihak yang ketahuan korupsi oleh Bung Hatta, dkk. Hasil laporan tersebut tidak pernah dikemukakan pada publik.
Drs Mohammad Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Pemerintah Orde Baru memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan Bung Karno. Baru pada 7 November 2012, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno ditetapkan secara resmi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
No comments