![]() |
Drs Mohammad Hatta kembali ke tanah air pada 20 Juli 1932 di umur 30 tahun dengan membawa segudang ilmu dan pengalaman, semangat perjuangan, kemampuan berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Ia juga membawa serta ribuan buku bacaan yang berjumlah 16 peti.
Tapi terlepas dari semua ilmunya itu, seorang nerd jenius kutu buku ini juga membawa pulang sebuah cita-cita yang mungkin dianggap kebanyakan orang sinting pada masa itu, yaitu memerdekakan Hindia Belanda dan mendirikan sebuah Negara baru bernama Indonesia. Keseriusannya ini ditandai oleh sumpahnya untuk tidak menikah sebelum Indonesia Merdeka.
Dirangkum dari berbagai sumber, sekembalinya ke Indonesia, Hatta bersama Sjahrir membentuk kembali PNI yang baru saja dibubarkan dan berfokus pada kaderisasi dan mendidik kaum muda. Di samping itu, Bung Karno yang baru saja keluar dari penjara Sukamiskin bergabung pada pergerakan di jalur yang lain melalui Partindo.
Ironisnya, perkenalan awal kedua tokoh proklamator kita bukan dihiasi oleh diskusi dan persahabatan, tetapi oleh perdebatan panas antar keduanya dengan saling membalas tulisan terkait gerakan dan gagasan masing-masing di Harian Daulat Ra'jat, Menjala, Api Ra'jat, dan Fikiran Rakjat selama 2 bulan penuh.
Akibatnya, Hatta semakin merasakan dirinya mendapat penolakan dari publik karena sosoknya dianggap terlalu radikal menuliskan pemberontakan pada Belanda. Justru lucunya, pada sebuah kesempatan kunjungan ke Jepang (Februari 1933) untuk keperluan bisnis, Hatta justru mendapat sambutan luar biasa oleh pers Jepang sampai-sampai rela menunggu Hatta di Pelabuhan Kobe.
Pers di Jepang bahkan menjulukinya "Gandhi of Java" dan selama tiga bulan di Jepang, Hatta kebanjiran undangan mulai dari Walikota Tokyo sampai Menteri Pertahanan Jepang. Dirinya kembali ke tanah air Mei 1933.
Melihat semakin tingginya api pergerakan di kalangan muda, pemerintah Belanda semakin bergidik ngeri akan terjadinya pemberontakan. Belanda mulai bertindak tegas dengan mengasingkan Bung Karno ke Ende, kemudian Hatta, Sjahrir, dkk di PNI ditangkap dan dipenjara di Glodok (1934). Kurang dari setahun (Januari 1935), Hatta, Sjahrir, dkk diasingkan ke tempat yang terkenal sangat mengerikan, yaitu di Boven Digul (Papua).
Digul atau tanah merah, dataran terpencil di Papua adalah tempat yang diasosiasikan tempat pengasingan seutuhnya, barangsiapa diasingkan ke Digul, tak akan pernah kembali. Digul adalah tempat buangan para tawanan politik, tanpa jeruji, tanpa sipir dan pengawasan sama sekali.
Tetapi bentuk jeruji yang sesungguhnya adalah rimba liar yang ganas, penuh dengan binatang buas, pasir hidup, dan nyamuk malaria. Digul memang bukan kamp kerja paksa, tapi tempat pembuangan tanpa rumah sakit, sekolah, dan masa depan.
Tempat yang menjadi "neraka" bagi orang-orang yang gemas untuk berkarya, karena di sana hanya ada kebosanan, ketidaktahuan, dan ketidakpastian akan masa depan. Di tengah-tengah "neraka" bagi para aktivis itu, apa yang dilakukan Hatta?
Di sana ia belajar setiap hari, menghabiskan ribuan bukunya yang berjumlah 16 peti itu, menulis tentang berbagai gagasan kenegaraan, dan mengajar filsafat dan ekonomi kepada sesama tawanan dan rakyat lokal di sana. Tak ada matinya semangat Bung Hatta, masih saja ia menyempatkan untuk belajar dan berkarya, padahal tidak ada kepastian di hari depannya saat itu.
Dalam penjara dan pengasingan, mungkin adalah masa-masa terberat dan ujian bagi Bung Hatta. Dalam situasi itu, Bung Hatta bukannya merenung, kapok, dan legowo tapi justru lebih rajin dan produktif dengan menulis banyak buku keren.
Inilah, salah satu keunggulan Hatta yang sangat jarang dimiliki oleh tokoh lain. Banyak cerita dari sesama rekan yang diasingkan dan masyarakat setempat yang menggambarkan Hatta sebagai sosok yang disiplin.
Bahkan di tanah pengasingan yang tanpa masa depan, ia masih menjaga kedisiplinannya untuk bangun subuh, shalat, belajar, membaca, menulis, dan rutin berdiskusi tentang politik dan sejarah dengan Sjahrir, Tjipto Mangunkusumo, dan Mr Iwa Kusumasumantri.
Setelah hampir setahun terkatung-katung tanpa kejelasan di Digul, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira (1936) sampai dengan tahun 1942. Tahun 1942 Hatta dipindahkan ke Sukabumi. Tidak lama setelah itu Jepang menguasai Nusantara dan mengusir paksa Belanda. Di masa kekuasaan Jepang, Mayjen Harada memerintahkan untuk membebaskan Hatta dan Sjahrir.
Tapi terlepas dari semua ilmunya itu, seorang nerd jenius kutu buku ini juga membawa pulang sebuah cita-cita yang mungkin dianggap kebanyakan orang sinting pada masa itu, yaitu memerdekakan Hindia Belanda dan mendirikan sebuah Negara baru bernama Indonesia. Keseriusannya ini ditandai oleh sumpahnya untuk tidak menikah sebelum Indonesia Merdeka.
Dirangkum dari berbagai sumber, sekembalinya ke Indonesia, Hatta bersama Sjahrir membentuk kembali PNI yang baru saja dibubarkan dan berfokus pada kaderisasi dan mendidik kaum muda. Di samping itu, Bung Karno yang baru saja keluar dari penjara Sukamiskin bergabung pada pergerakan di jalur yang lain melalui Partindo.
Ironisnya, perkenalan awal kedua tokoh proklamator kita bukan dihiasi oleh diskusi dan persahabatan, tetapi oleh perdebatan panas antar keduanya dengan saling membalas tulisan terkait gerakan dan gagasan masing-masing di Harian Daulat Ra'jat, Menjala, Api Ra'jat, dan Fikiran Rakjat selama 2 bulan penuh.
Akibatnya, Hatta semakin merasakan dirinya mendapat penolakan dari publik karena sosoknya dianggap terlalu radikal menuliskan pemberontakan pada Belanda. Justru lucunya, pada sebuah kesempatan kunjungan ke Jepang (Februari 1933) untuk keperluan bisnis, Hatta justru mendapat sambutan luar biasa oleh pers Jepang sampai-sampai rela menunggu Hatta di Pelabuhan Kobe.
Pers di Jepang bahkan menjulukinya "Gandhi of Java" dan selama tiga bulan di Jepang, Hatta kebanjiran undangan mulai dari Walikota Tokyo sampai Menteri Pertahanan Jepang. Dirinya kembali ke tanah air Mei 1933.
Melihat semakin tingginya api pergerakan di kalangan muda, pemerintah Belanda semakin bergidik ngeri akan terjadinya pemberontakan. Belanda mulai bertindak tegas dengan mengasingkan Bung Karno ke Ende, kemudian Hatta, Sjahrir, dkk di PNI ditangkap dan dipenjara di Glodok (1934). Kurang dari setahun (Januari 1935), Hatta, Sjahrir, dkk diasingkan ke tempat yang terkenal sangat mengerikan, yaitu di Boven Digul (Papua).
Digul atau tanah merah, dataran terpencil di Papua adalah tempat yang diasosiasikan tempat pengasingan seutuhnya, barangsiapa diasingkan ke Digul, tak akan pernah kembali. Digul adalah tempat buangan para tawanan politik, tanpa jeruji, tanpa sipir dan pengawasan sama sekali.
Tetapi bentuk jeruji yang sesungguhnya adalah rimba liar yang ganas, penuh dengan binatang buas, pasir hidup, dan nyamuk malaria. Digul memang bukan kamp kerja paksa, tapi tempat pembuangan tanpa rumah sakit, sekolah, dan masa depan.
Tempat yang menjadi "neraka" bagi orang-orang yang gemas untuk berkarya, karena di sana hanya ada kebosanan, ketidaktahuan, dan ketidakpastian akan masa depan. Di tengah-tengah "neraka" bagi para aktivis itu, apa yang dilakukan Hatta?
Di sana ia belajar setiap hari, menghabiskan ribuan bukunya yang berjumlah 16 peti itu, menulis tentang berbagai gagasan kenegaraan, dan mengajar filsafat dan ekonomi kepada sesama tawanan dan rakyat lokal di sana. Tak ada matinya semangat Bung Hatta, masih saja ia menyempatkan untuk belajar dan berkarya, padahal tidak ada kepastian di hari depannya saat itu.
Dalam penjara dan pengasingan, mungkin adalah masa-masa terberat dan ujian bagi Bung Hatta. Dalam situasi itu, Bung Hatta bukannya merenung, kapok, dan legowo tapi justru lebih rajin dan produktif dengan menulis banyak buku keren.
Inilah, salah satu keunggulan Hatta yang sangat jarang dimiliki oleh tokoh lain. Banyak cerita dari sesama rekan yang diasingkan dan masyarakat setempat yang menggambarkan Hatta sebagai sosok yang disiplin.
Bahkan di tanah pengasingan yang tanpa masa depan, ia masih menjaga kedisiplinannya untuk bangun subuh, shalat, belajar, membaca, menulis, dan rutin berdiskusi tentang politik dan sejarah dengan Sjahrir, Tjipto Mangunkusumo, dan Mr Iwa Kusumasumantri.
Setelah hampir setahun terkatung-katung tanpa kejelasan di Digul, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira (1936) sampai dengan tahun 1942. Tahun 1942 Hatta dipindahkan ke Sukabumi. Tidak lama setelah itu Jepang menguasai Nusantara dan mengusir paksa Belanda. Di masa kekuasaan Jepang, Mayjen Harada memerintahkan untuk membebaskan Hatta dan Sjahrir.
No comments