![]() |
Bung Karno |
Hari ini bangsa Indonesia telah merdeka dan berusia 73 tahun. Barangkali tidak asing dengan kondisi meriah setiap penjuru negeri dengan hiasan pernak-pernik berwarna Merah Putih. Setiap masyarakat pun berbahagia dengan banyaknya lomba 17 Agustus, selain itu ada juga yang tengah berdebar-debar sebab tergabung dalam pasukan delapan, pasukan 17 dan pasukan 45 yang bertugas mengibarkan bendera.
Namun, hingar bingar hari ini sangat berbeda dengan 73 tahun yang lalu. Ketika itu bertepatan dengan bulan Ramadan, ikrar kemerdekaan bangsa Indonesia itu dibacakan dalam kondisi prihatin dan sangat sederhana.
Meski begitu, tidak seperti negara-negara lain, kemerdekaan bangsa ini diperoleh atas perjuangan sendiri, bukan pemberian bangsa lain.
Dari banyak sumber juga dikatakan bahwa saat itu bulan Ramadan, Bung Karno tidak berpuasa karena sakit akibat gejala malaria tertiana.
Pada pagi hari 17 Agustus 1945, Bung Karno dibangunkan dr Soeharto. Sang Proklamator mengeluhkan badannya greges-greges.
Dia kemudian disuntik dan minum obat. Setelah itu tidur lagi dan baru bangun pada pukul 09.00 WIB.
Setelah membacakan teks proklamasi pada pukul 10.10 WIB, Bung Karno kembali masuk kamar untuk beristirahat.
Sebelumnya, suasana perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga sangat sederhana, dan apa adanya. Tidak ada iringan tiupan terompet yang megah, tidak ada orang yang mengenakan seragam yang megah, tidak ada doa dan upacara keagamaan yang khidmat. Tidak ada perwira-perwira berpakaian seragam, tidak diabadikan oleh wartawan juru potret, dan sebagainya.
Ruangannya pun bukan di ruangan-mahkota dari Istana Juliana (Ratu Belanda ketika itu), melainkan hanya di sebuah kamar depan yang kecil di sebelah ruangan besar dari rumah seorang Laksamana Jepang.
Tidak ada juga acara "mengangkat gelas" untuk keselamatan. Minuman yang tersedia pun hanya berupa air soda panas untuk membangkitkan kembali kekuatan dari segelintir manusia yang sudah tidak keruan dan tidak tidur selama dua hari.
Sukarno mengaku, ketika itu, perumusan naskah Proklamasi itu tidak memberikan perasaan apa-apa terhadapnya, tidak ada perasaan kegirangan, atau kebanggaan. Yang adalah rasa lelah yang luar biasa. Saat naskah Proklamasi itu selesai diketik, jam di dinding menunjukkan angka 4 dini hari.
Rumah gedung tempat tinggal Laksamana Muda Maeda, tempat perumusan naskah Proklamasi itu, sejak 1992, diresmikan menjadi museum dengan nama "Museum Perumusan Naskah Proklamasi", letaknya di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat.
Sukarno bukan hanya tidak tidur selama dua hari, tetapi penyakit malarianya juga kumat, ia merasa seluruh badannya menggigil dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki, suhu badannya mencapai 40 derajat Celcius. Dalam keadaan sakit, Sukarno pun pulang ke rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.
Di rumah, Sukarno tidak tidur, karena ia masih menulis banyak instruksi untuk pimpinan-pimpinan di daerah tentang bagaimana bersikap dam bertindak setelah nanti deklarasi Proklamasi Kemerdekaan diumumkan.
Namun akhirnya, ia tak kuat lagi, dan atas petunjuk Soeharto, dokter pribadinya, Sukarno pergi tidur di kamarnya, semua orang dilarang mengganggunya.
Berita bahwa Sukarno akan mengdeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada hari itu juga, 17 Agustus 1945, sudah tersebar di seantero Jakarta. Ribuan rakyat pun turun ke jalan-jalan, keliling Jakarta, mengetok rumah satu per satu, berteriak memberitahukan Sukarno akan menyatakan kemerdekaan Indonesia di rumahnya, di Pegangsaan Timur 56 itu.
Pukul sembilan pagi, sudah ada sekitar 500 orang sudah mengepung untuk melindungi Sukarno yang berada di rumahnya itu, dengan maksud agar deklarasi Proklamasi Kemerdekaan itu dapat dibacakan Sukarno dengan lancar tanpa ada gangguan apapun, terutama dari militer Jepang. Jika ada ganggauan, termasuk halangan dari tentara Jepang, rakyat siap melawannya.
Orang banyak itu pun semakin tidak sabar, berteriak-teriak mendesak Sukarno agar segera keluar rumah mengdeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Sekarang, Bung, sekarang! Nyatakanlah sekarang kemerdekaan, nyatakan sekarang kemerdekaan, ... Hai, Bung Karno, hari sudah tinggi , ... hari sudah panas, ... rakyat sudah tidak sabar lagi. Rakyat sudah gelisah. Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah Proklamasi!".
Namun, Sukarno belum mau membaca teks Proklamasi itu, ia menunggu kedatangan Mohammad Hatta. Tanpa Hatta, Sukarno tidak mau membaca teks Proklamasi itu. Setelah menunggu beberapa lama, Hatta pun datang. Dia menemui Sukarno di kamarnya, yang masih terbaring sakit, di ranjangnya.
Tentang suasana Proklamasi itu, Sukarno menulis:
"Tidak ada orang yang ditugaskan untuk mengerek bendera. Tiada persiapan untuk itu. Dan tidak seorang pun berpikir sampai ke situ. Kapten Latif Hendraningrat sebagai salah seorang di antara beberapa gelintir orang berpakaian seragam berada dekat tiang. Setiap orang menunggu dengan tegang ketika dia mengambil bendera itu, mengikatkan pada tali yang kasar dan mengibarkannya, seorang diri, dengan kebanggaan, yah, untuk pertama kali setelah tiga setengah abad.
Tidak ada musik. Tidak ada pencaraga. Setelah bendera naik melambai-lambai, kami menyayikan lagu Indonesia Raya.
Selesai itu kudengar anggota PETA di kamar-kerjaku berteriak melalui telepon: "Ya, sudah selesai!"
Kemudian ia meletakkan telepon, dan aku masuk ke dalam dan terus ke belakang menuju kamarku. Hari jam sepuluh. Revolusi sudah dimulai."
Mengingat penuh perjuangan untuk meraih kemerdekaan, sudah sepautnya menjadi tugas generasi sekarang dalam melanjutkan cita-cita perjuangan para pahlawan. Ingat pesan Sukarno bahwa Revolusi belumlah selesai!
Kita punya negara yang berdaulat, dengan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Artinya, Indonesia adalah negara yang menolak kolonialisme/imperialisme dalam segala bentuknya, feodalisme, dan otoritarianisme.
Bahkan, pada tahun 20 Mei 1963, Bung Karno mengatakan, selesainya Revolusi Indonesia masih akan bertahun-tahun lagi. “Ini perlu dicamkan, dicamkan oleh Saudara-Saudara sekalian, bahwa Revolusi Indonesia tidak akan selesai dalam satu dua hari, bahwa Revolusi Indonesia itu memang belum selesai, bahwa Revolusi Indonesia itu sudah bertahun-tahun berjalan, tetapi masih akan berjalan bertahun-tahun lagi. Sebabnya ialah oleh karena Revolusi Indonesia itu adalah revolusi yang besar, bukan revolusi yang kecil-kecilan, bukan revolusi peyeum, Dulur-Dulur, tetapi revolusi amat besar. Dan sudah sering saya katakan bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusi Pancamuka, revolusi multikompleks, revolusi yang bermuka banyak, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi membentuk manusia Indonesia baru. Revolusi yang demikian ini tidak akan selesai dalam tempo satu dua tahun. Revolusi yang demikian ini akan memakan berpuluh-puluh tahun...” demikian Bung Karno.
Namun, hingar bingar hari ini sangat berbeda dengan 73 tahun yang lalu. Ketika itu bertepatan dengan bulan Ramadan, ikrar kemerdekaan bangsa Indonesia itu dibacakan dalam kondisi prihatin dan sangat sederhana.
Meski begitu, tidak seperti negara-negara lain, kemerdekaan bangsa ini diperoleh atas perjuangan sendiri, bukan pemberian bangsa lain.
Dari banyak sumber juga dikatakan bahwa saat itu bulan Ramadan, Bung Karno tidak berpuasa karena sakit akibat gejala malaria tertiana.
Pada pagi hari 17 Agustus 1945, Bung Karno dibangunkan dr Soeharto. Sang Proklamator mengeluhkan badannya greges-greges.
Dia kemudian disuntik dan minum obat. Setelah itu tidur lagi dan baru bangun pada pukul 09.00 WIB.
Setelah membacakan teks proklamasi pada pukul 10.10 WIB, Bung Karno kembali masuk kamar untuk beristirahat.
Sebelumnya, suasana perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia juga sangat sederhana, dan apa adanya. Tidak ada iringan tiupan terompet yang megah, tidak ada orang yang mengenakan seragam yang megah, tidak ada doa dan upacara keagamaan yang khidmat. Tidak ada perwira-perwira berpakaian seragam, tidak diabadikan oleh wartawan juru potret, dan sebagainya.
Ruangannya pun bukan di ruangan-mahkota dari Istana Juliana (Ratu Belanda ketika itu), melainkan hanya di sebuah kamar depan yang kecil di sebelah ruangan besar dari rumah seorang Laksamana Jepang.
Tidak ada juga acara "mengangkat gelas" untuk keselamatan. Minuman yang tersedia pun hanya berupa air soda panas untuk membangkitkan kembali kekuatan dari segelintir manusia yang sudah tidak keruan dan tidak tidur selama dua hari.
Sukarno mengaku, ketika itu, perumusan naskah Proklamasi itu tidak memberikan perasaan apa-apa terhadapnya, tidak ada perasaan kegirangan, atau kebanggaan. Yang adalah rasa lelah yang luar biasa. Saat naskah Proklamasi itu selesai diketik, jam di dinding menunjukkan angka 4 dini hari.
Rumah gedung tempat tinggal Laksamana Muda Maeda, tempat perumusan naskah Proklamasi itu, sejak 1992, diresmikan menjadi museum dengan nama "Museum Perumusan Naskah Proklamasi", letaknya di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat.
Sukarno bukan hanya tidak tidur selama dua hari, tetapi penyakit malarianya juga kumat, ia merasa seluruh badannya menggigil dari ujung kepala sampai dengan ujung kaki, suhu badannya mencapai 40 derajat Celcius. Dalam keadaan sakit, Sukarno pun pulang ke rumahnya, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.
Di rumah, Sukarno tidak tidur, karena ia masih menulis banyak instruksi untuk pimpinan-pimpinan di daerah tentang bagaimana bersikap dam bertindak setelah nanti deklarasi Proklamasi Kemerdekaan diumumkan.
Namun akhirnya, ia tak kuat lagi, dan atas petunjuk Soeharto, dokter pribadinya, Sukarno pergi tidur di kamarnya, semua orang dilarang mengganggunya.
Berita bahwa Sukarno akan mengdeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada hari itu juga, 17 Agustus 1945, sudah tersebar di seantero Jakarta. Ribuan rakyat pun turun ke jalan-jalan, keliling Jakarta, mengetok rumah satu per satu, berteriak memberitahukan Sukarno akan menyatakan kemerdekaan Indonesia di rumahnya, di Pegangsaan Timur 56 itu.
Pukul sembilan pagi, sudah ada sekitar 500 orang sudah mengepung untuk melindungi Sukarno yang berada di rumahnya itu, dengan maksud agar deklarasi Proklamasi Kemerdekaan itu dapat dibacakan Sukarno dengan lancar tanpa ada gangguan apapun, terutama dari militer Jepang. Jika ada ganggauan, termasuk halangan dari tentara Jepang, rakyat siap melawannya.
Orang banyak itu pun semakin tidak sabar, berteriak-teriak mendesak Sukarno agar segera keluar rumah mengdeklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
"Sekarang, Bung, sekarang! Nyatakanlah sekarang kemerdekaan, nyatakan sekarang kemerdekaan, ... Hai, Bung Karno, hari sudah tinggi , ... hari sudah panas, ... rakyat sudah tidak sabar lagi. Rakyat sudah gelisah. Rakyat sudah berkumpul. Ucapkanlah Proklamasi!".
Namun, Sukarno belum mau membaca teks Proklamasi itu, ia menunggu kedatangan Mohammad Hatta. Tanpa Hatta, Sukarno tidak mau membaca teks Proklamasi itu. Setelah menunggu beberapa lama, Hatta pun datang. Dia menemui Sukarno di kamarnya, yang masih terbaring sakit, di ranjangnya.
Tentang suasana Proklamasi itu, Sukarno menulis:
"Tidak ada orang yang ditugaskan untuk mengerek bendera. Tiada persiapan untuk itu. Dan tidak seorang pun berpikir sampai ke situ. Kapten Latif Hendraningrat sebagai salah seorang di antara beberapa gelintir orang berpakaian seragam berada dekat tiang. Setiap orang menunggu dengan tegang ketika dia mengambil bendera itu, mengikatkan pada tali yang kasar dan mengibarkannya, seorang diri, dengan kebanggaan, yah, untuk pertama kali setelah tiga setengah abad.
Tidak ada musik. Tidak ada pencaraga. Setelah bendera naik melambai-lambai, kami menyayikan lagu Indonesia Raya.
Selesai itu kudengar anggota PETA di kamar-kerjaku berteriak melalui telepon: "Ya, sudah selesai!"
Kemudian ia meletakkan telepon, dan aku masuk ke dalam dan terus ke belakang menuju kamarku. Hari jam sepuluh. Revolusi sudah dimulai."
Mengingat penuh perjuangan untuk meraih kemerdekaan, sudah sepautnya menjadi tugas generasi sekarang dalam melanjutkan cita-cita perjuangan para pahlawan. Ingat pesan Sukarno bahwa Revolusi belumlah selesai!
Kita punya negara yang berdaulat, dengan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Artinya, Indonesia adalah negara yang menolak kolonialisme/imperialisme dalam segala bentuknya, feodalisme, dan otoritarianisme.
Bahkan, pada tahun 20 Mei 1963, Bung Karno mengatakan, selesainya Revolusi Indonesia masih akan bertahun-tahun lagi. “Ini perlu dicamkan, dicamkan oleh Saudara-Saudara sekalian, bahwa Revolusi Indonesia tidak akan selesai dalam satu dua hari, bahwa Revolusi Indonesia itu memang belum selesai, bahwa Revolusi Indonesia itu sudah bertahun-tahun berjalan, tetapi masih akan berjalan bertahun-tahun lagi. Sebabnya ialah oleh karena Revolusi Indonesia itu adalah revolusi yang besar, bukan revolusi yang kecil-kecilan, bukan revolusi peyeum, Dulur-Dulur, tetapi revolusi amat besar. Dan sudah sering saya katakan bahwa Revolusi Indonesia adalah revolusi Pancamuka, revolusi multikompleks, revolusi yang bermuka banyak, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi membentuk manusia Indonesia baru. Revolusi yang demikian ini tidak akan selesai dalam tempo satu dua tahun. Revolusi yang demikian ini akan memakan berpuluh-puluh tahun...” demikian Bung Karno.
Sederhana namun jadi tonggak sejarah baru Indonesia. Nice mba. Saya suka baca2 tentang sejarah.
ReplyDeletePernah baca artikel juga bahwa sesudah proklamasi, Soekarno pulang dengan berjalan kaki.
Terimakasih,
Deletesaya juga pernah baca waktu Bung Karno pulang jalan kaki itu selepas dinobatkan jadi Presiden tanggal 18 Agustus, dia pulang jalan kaki dan ketemu tukang sate. Ada artikelnya juga di blog ini.