Bung Karno, dari Jagoan Kecil Hingga Jadi Pemimpin Negeri

Sukarno
Pecinta sejarah tentu akrab sekali dengan nama Koesno, betapa tidak sebab nama itulah yang disandang Bung Karno di masa kecilnya kemudian diganti saat ia mengalami sakit parah.

Bung Karno di masa kecil tidaklah hidup bergelimang harta, melainkan sederhana dan penuh keterbatasan.

Namun, keadaan itu tak memudarkan keindahan masa kecil Bung Karno. Dikutip dari Wordpress Roso Daras, Sukarno kecil dijuluki jagoan oleh teman-temannya.

Apapun yang diperbuat Sukarno kecil, teman-temannya akan mengikuti. Apa saja yang diceritakan Sukarno kecil, teman-teman akan patuh mendengarkannya. Oleh teman-temannya, Sukarno bahkan dijuluki “jago”, karena pembawaannya yang jagoan, meski untuk ulahnya, tak jarang ia kena tampar anak-anak Belanda. Karena gayanya yang begitu “pe de” itu pula yang mengakibatkan ia sering berkelahi dengan bule-bule Belanda.

Dari usia empat tahun, Bung Karno kecil sudah disegani kawan-kawannya bermain. Bukan lantaran sifatnya yang nekad menantang maut, tetapi karakter bersahabat yang tulus yang memancar dari sorot matanya yang begitu indah berpendar-pendar.

Tak jarang, ketika ia dan teman-temannya bermain panjat pohon, Koesno dengan lincah dan gesit segera merangsek ke dahan paling atas. Dahan terkecil yang begitu ringkih dan bisa menghempaskannya ke tanah sewaktu-waktu.

Dan jika ia sudah berada di pucuk pohon, teman-temannya hanya bisa melongo. Tidak paham dengan keberanian Sukarno kecil yang melampaui batas kenekatan seorang anak seusianya.

Sementara di sekolah, gurunya sering dibuat kesal. Ia jarang sekali menyimak pelajaran. Ia asyik melamun atau menggambar. Termasuk, kala itu satu per satu anak diminta ke papan tulis menuliskan soal yang ditanyakan guru, dan ia yang paling beda.

Bukan huruf demi huruf yang ia ukir di papan, melainkan gambar tokoh pewayangan yang begitu dikaguminya: Bima atau Wrekodara. Lengkap dengan kuku pancanaka, gelung sinupiturang yang angker, dan matanya yang bulat tajam.

Itu sekelumit kisah masa kecil Sukarno yang dihabiskannya di Mojokerto, sebuah kota kecil yang berjarak 55 kilometer selatan Surabaya. Di kota ini pula, Sukarno disekolahkan di Europesche Lageere School (ELS), Sekolah Dasar Eropa.

Hanya lulusan ELS yang bisa melanjutkan ke sekolah menengah Belanda (Hoogere Burger School/HBS = Sekolah Lanjutan Tinggi). Sebelum masuk ELS, Sukarno sekolah di Hollands Inlandsche School (HIS). Lulusan HIS setara dengan kelas 4 ELS. Akan tetapi, karena Sukarno lemah bahasa Belandanya, maka ketika ujian masuk ELS ia diturunkan ke kelas 3.

Usia Sukarno 10 tahun ketika masuk ELS. Tahun Masehi menunjuk angka 1911. Tujuh tahun lamanya ia menyelesaikan pendidikan di ELS hingga lulus kelas tujuh pada tahun 1916. Itulah tahun-tahun Sukarno berusia belasan tahun, usia ABG, usia pancaroba dengan segala kenakalannya.

Usia 12 tahun, Sukarno sudah punya pasukan pengikut yang setia. Sukarno-lah pemimpin pasukan itu. Kalau Sukarno bermain jangkrik di tengah lapangan yang berdebu, segera pasukannya mengikuti. Kalau Karno diketahui mengumpulkan prangko, mereka juga mengumpulkannya.

Pada suatu hari, seorang temannya memberi sebuah sumpitan. Sebuah mainan anak-anak berupa ujung bambu yang berlubang kecil. Cara bermain, masukkan sebutir kacang, kemudian tiup kencang-kencang ke arah sasaran. Dan, Sukarno pun jadi jagoan main sumpitan.

Kalau “gang” pribumi kecil ini bermain panjat pohon, maka Sukarno akan memanjat ke dahan paling tinggi. Itu artinya, ketika jatuh Sukarno pun jatuh paling keras daripada anak-anak yang lain.

Dalam segala hal, Sukarno selalu menjadi yang pertama mencoba. “Nasibku adalah untuk menaklukkan, bukan untuk ditaklukkan, sekalipun pada waktu kecilku,” tutur Sukarno berpuluh-puluh tahun kemudian.

Termasuk dalam permainan adu gasing. Tersebutlah sebuah gasing milik temannya yang berputar lebih cepat daripada gasing milik Sukarno. “Kupecahkan situasi itu dengan berpikir cepat ala Sukarno: Kulemparkan gasing itu ke dalam kali.” cerita Bung Karno.

Siapa sangka sosok jagoan kecil itu menjadi pada akhirnya memimpin negeri dengan kepalan keberanian dalam dirinya. Mati-matian ia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Mengutip kata-kata dari Bung Karno "Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka."

Dan kalimat yang menggetarkan rasa nasionalisme tersebut keluar dari si jagoan kecil berpuluh tahun kemudian. Sudah sepatutnya bangsa ini belajar akan pentingnya sebuah kekuatan bangsa. Jika semuanya bersatu padu, merdeka bisa dirasa setiap manusia layaknya merdeka bisa tertawa lepas dan berekspresi bebas seperti Bung Karno kecil.

No comments