![]() |
Bung Karno dan keluarga |
73 tahun Indonesia tak lepas dari pengorbanan para pahlawan yang telah gugur dan memiliki kisah heroik di zamannya. Tugas sebagai generasi penerus adalah melanjutkan cita-cita perjuangan mereka.
Saat itu ketika proklamasi 17 Agustus 1945 diwarnai kisah haru, betapa tidak sebab kemerdekaan itu tidak mudah untuk didapat. Namun, setelah hari kemerdekaan saat itu juga terdapat cerita-cerita lucu yang mengundang gelak tawa. Cerita tersebut datang dari Presiden pertama RI seperti dirangkum dari berbagai sumber dan dalam biografi yang ditulis Cindy Adams.
Saat itu, Republik Indonesia baru diproklamasikan. Jelas saja belum ada mobil kepresidenan untuk Sukarno. Tentu saja, sebagai seorang Presiden, kemana-mana harus diantar pakai mobil kepresidenan, bukan jalan kaki.
“Para pengikutku yang setia menganggap sudah seharusnya seorang presiden memiliki sebuah sedan mewah. Karena itu mereka mengusahakannya. Sudiro mengetahui ada sebuah Buick besar muat tujuh orang yang merupakan mobil paling bagus di Jakarta. Dengan gorden di jendela belakang.”
“Sayang mobil ini milik Kepala Jawatan Kereta Api, seorang Jepang. Tetapi soal begini tidaklah membuat pusing Sudiro. Tanpa kuketahui, dia pergi mencari mobil itu dan menemukannya sedang diparkir di sebuah garasi,” ujar Sukarno dalam biografi “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis Cindy Adams.
Sudiro yang mengenal supir itu langsung meminta sang supir menyerahkan kunci mobil Buick mewah tersebut. Sopir itu bertanya akan diapakan mobil tersebut. “Saya bermaksud memberikannya kepada Presiden kita,” balas Sudiro.
Sopir muda itu pun mengangguk setuju. Dia menyerahkan kunci mobil majikannya pada Sudiro. Sopir ini pun kemudian disuruh Sudiro pulang kampung agar tidak dicari majikannya.
Kemudian sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang. Mereka menetapkan Sukarno sebagai Presiden RI pertama dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden RI. Tidak ada debat sengit dalam sidang di Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon itu. Sederhana saja, PPKI memilih Sukarno sebagai presiden.
Sesederhana itu. Maka jadilah Sukarno sebagai Presiden pertama RI. Namanya negara yang baru seumur sehari, tidak ada mobil kepresidenan yang mengantar Sukarno. Maka Sukarno pun pulang berjalan kaki.
“Di jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima. Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama. Sate ayam 50 tusuk!” ujar Sukarno. Itulah perintah pertama presiden RI. “Sate ayam 50 tusuk!”
Nah, setelah merdeka, datanglah pasukan sekutu yang membawa wartawan Amerika, Inggris dan Belanda. Namanya negara baru, tentu tidak ada ‘press officer’. Maka Presiden Sukarno menunjuk seorang pemuda untuk meladeni wartawan itu.
Tentu saja pelajar itu tidak berpengalaman menghadapi wartawan asing yang agresif. Apalagi ada orang Belanda yang mengaku jadi wartawan Amerika. Akhirnya petugas itu menemukan cara. Dia menginjak kaki para wartawan itu.
“Kalau orang Belanda, dia akan berteriak OW! Tapi orang Amerika dan Inggris akan berteriak OUH,” kata Sukarno.
Dulu, di awal kemerdekaan, perekonomian Indonesia sedang kacau. Satu-satunya cara mendapatkan uang atau kebutuhan rakyat adalah dengan cara menyelundupkan barang-barang ke luar negeri kemudian melakukan barter di sana.
Bahan pakaian, makanan, hingga senjata diselundupkan dari luar negeri. Tentu saja Belanda yang memblokade Indonesia kesal setengah mati.
“Orang yang menyelundupkan perdagangan emas dan perak serta menyelundupkan 8 ribu ton karet adalah Dr AK Gani. Belanda memberinya julukan raja penyelundup tapi rakyat Indonesia mengenalnya sebagai menteri perekonomian,” kata Sukarno.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda kembali ingin kembali berkuasa di Indonesia. Selain bertempur, diplomasi di meja perundingan pun dilakukan.
Sukarno menceritakan Leimena, seorang dokter pedesaan. Selama pendudukan Jepang, Leimena tak punya baju selain sepasang pakaian dalam. Maka dia terpaksa meminjam jas dan dasi untuk menghadapi para diplomat Belanda.
“Orang-orang desa dengan baju pinjaman tiba-tiba terjun ke politik, duduk di meja perundingan berhadapan dengan wakil-wakil terhormat dari Ratu Juliana yang berpakaian mentereng. Atau melakukan perundingan dengan orang Inggris bergelar Sir atau Lord.”
“Beberapa anggota delegasi kami malahan memakai sepatu pinjaman. Dan orang Inggris dan Belanda memanggil mereka dengan sebutan ‘Yang Mulia’. Kesulitan terbesar dari para menteriku adalah menahan ketawa bila memikirkan keganjilan ini semua,” kata Sukarno.
Saat itu ketika proklamasi 17 Agustus 1945 diwarnai kisah haru, betapa tidak sebab kemerdekaan itu tidak mudah untuk didapat. Namun, setelah hari kemerdekaan saat itu juga terdapat cerita-cerita lucu yang mengundang gelak tawa. Cerita tersebut datang dari Presiden pertama RI seperti dirangkum dari berbagai sumber dan dalam biografi yang ditulis Cindy Adams.
Saat itu, Republik Indonesia baru diproklamasikan. Jelas saja belum ada mobil kepresidenan untuk Sukarno. Tentu saja, sebagai seorang Presiden, kemana-mana harus diantar pakai mobil kepresidenan, bukan jalan kaki.
“Para pengikutku yang setia menganggap sudah seharusnya seorang presiden memiliki sebuah sedan mewah. Karena itu mereka mengusahakannya. Sudiro mengetahui ada sebuah Buick besar muat tujuh orang yang merupakan mobil paling bagus di Jakarta. Dengan gorden di jendela belakang.”
“Sayang mobil ini milik Kepala Jawatan Kereta Api, seorang Jepang. Tetapi soal begini tidaklah membuat pusing Sudiro. Tanpa kuketahui, dia pergi mencari mobil itu dan menemukannya sedang diparkir di sebuah garasi,” ujar Sukarno dalam biografi “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis Cindy Adams.
Sudiro yang mengenal supir itu langsung meminta sang supir menyerahkan kunci mobil Buick mewah tersebut. Sopir itu bertanya akan diapakan mobil tersebut. “Saya bermaksud memberikannya kepada Presiden kita,” balas Sudiro.
Sopir muda itu pun mengangguk setuju. Dia menyerahkan kunci mobil majikannya pada Sudiro. Sopir ini pun kemudian disuruh Sudiro pulang kampung agar tidak dicari majikannya.
Kemudian sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang. Mereka menetapkan Sukarno sebagai Presiden RI pertama dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden RI. Tidak ada debat sengit dalam sidang di Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon itu. Sederhana saja, PPKI memilih Sukarno sebagai presiden.
Sesederhana itu. Maka jadilah Sukarno sebagai Presiden pertama RI. Namanya negara yang baru seumur sehari, tidak ada mobil kepresidenan yang mengantar Sukarno. Maka Sukarno pun pulang berjalan kaki.
“Di jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima. Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama. Sate ayam 50 tusuk!” ujar Sukarno. Itulah perintah pertama presiden RI. “Sate ayam 50 tusuk!”
Nah, setelah merdeka, datanglah pasukan sekutu yang membawa wartawan Amerika, Inggris dan Belanda. Namanya negara baru, tentu tidak ada ‘press officer’. Maka Presiden Sukarno menunjuk seorang pemuda untuk meladeni wartawan itu.
Tentu saja pelajar itu tidak berpengalaman menghadapi wartawan asing yang agresif. Apalagi ada orang Belanda yang mengaku jadi wartawan Amerika. Akhirnya petugas itu menemukan cara. Dia menginjak kaki para wartawan itu.
“Kalau orang Belanda, dia akan berteriak OW! Tapi orang Amerika dan Inggris akan berteriak OUH,” kata Sukarno.
Dulu, di awal kemerdekaan, perekonomian Indonesia sedang kacau. Satu-satunya cara mendapatkan uang atau kebutuhan rakyat adalah dengan cara menyelundupkan barang-barang ke luar negeri kemudian melakukan barter di sana.
Bahan pakaian, makanan, hingga senjata diselundupkan dari luar negeri. Tentu saja Belanda yang memblokade Indonesia kesal setengah mati.
“Orang yang menyelundupkan perdagangan emas dan perak serta menyelundupkan 8 ribu ton karet adalah Dr AK Gani. Belanda memberinya julukan raja penyelundup tapi rakyat Indonesia mengenalnya sebagai menteri perekonomian,” kata Sukarno.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda kembali ingin kembali berkuasa di Indonesia. Selain bertempur, diplomasi di meja perundingan pun dilakukan.
Sukarno menceritakan Leimena, seorang dokter pedesaan. Selama pendudukan Jepang, Leimena tak punya baju selain sepasang pakaian dalam. Maka dia terpaksa meminjam jas dan dasi untuk menghadapi para diplomat Belanda.
“Orang-orang desa dengan baju pinjaman tiba-tiba terjun ke politik, duduk di meja perundingan berhadapan dengan wakil-wakil terhormat dari Ratu Juliana yang berpakaian mentereng. Atau melakukan perundingan dengan orang Inggris bergelar Sir atau Lord.”
“Beberapa anggota delegasi kami malahan memakai sepatu pinjaman. Dan orang Inggris dan Belanda memanggil mereka dengan sebutan ‘Yang Mulia’. Kesulitan terbesar dari para menteriku adalah menahan ketawa bila memikirkan keganjilan ini semua,” kata Sukarno.
Kok ada-ada aja, sih, Mbak. Cerita mobil itu jadi terkesan lucu. :")
ReplyDeletehehe iyaa, banyak cerita lucu saat itu...
Delete