![]() |
Bung Hatta merupakan sosok yang sangat suka membaca, oleh karena itu tak heran jika dia memiliki pemikiran yang tajam dan koleksi buku yang menggunung. Bahkan Bung Hatta sangat telaten merawat dan memperlakukan buku-bukunya.
Kala itu di Jakarta, Mohammad Hatta memperdalam ilmu ekonomi-politiknya di Sekolah Tinggi Dagang atau Handels Hoogeschool, di Rotterdam yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi atau Economische Hoogeschool. Selama di Belanda, Hatta bukan hanya asyik dengan buku-bukunya. Dia juga aktif dalam Perhimpunan Hindia atau Indische Vereeniging yang didirikan sejak tahun 1908 oleh mahasiswa Indonesia di Belanda. Di organisasi itu, Hatta bertemu dengan sejumlah mahasiswa yang lebih tua dan banyak menghabiskan waktunya dalam organisasi. Pemikiran Hatta dalam politik dan pergerakan pun mengalami kematangan di sini.
Pengalamannya selama menjadi bendahara JBS membuat nama Hatta cukup dikenal oleh para pemimpin Perhimpunan Hindia yang kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) atau Indonesische Vereeniging. Saat Hatta bergabung dengan PI, suhu politik yang melingkupi para mahasiswa sedang hangat-hangatnya. Dia lalu diminta menghidupkan lagi majalah dwi bulanan milik organisasi Hindia Poetra. Dikutip dari Sinergi Bangsa, di tangan Hatta lah, majalah ini berperan sebagai senjata yang ampuh dalam menyebarkan semangat antikolonialisme. Ide nonkooperasi yang menjadi sikap politik Hatta dikemudian hari juga lahir dari sini.
Majalah Hindia Poetra kemudian menjadi Indonesia Merdeka. Dengan bergantinya nama Hindia menjadi Indonesia, ditambah kata Merdeka, pergerakan PI di Belanda menjadi semakin radikal dari sebelumnya. Perubahan radikal itu dimulai sejak Iwa Kusuma Sumantri menjabat sebagai ketuanya pada 1923, dan seterusnya hingga Hatta mengambil alih kepemimpinan organisasi mulai tahun 1926 hingga 1930. Saat Hatta memimpin PI, situasi politik di Indonesia sedang panas. Terjadi pemogokan buruh, penangkapan, dan pembuangan sejumlah pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh pihak Belanda.
Aksi ini menyulut perlawanan yang lebih keras. Pada bulan November 1926, PKI memimpin pemberontakan rakyat untuk menggulingkan Pemerintah Kolonial Belanda, namun menemui kegagalan sangat fatal. Sebagai balasan, Pemerintah Belanda melakukan penangkapan dan pembuangan secara besar-besaran terhadap anggota PKI, ulama, dan para santri yang terlibat. Beberapa di antaranya ditembak mati.
Setahun sebelum peristiwa itu, Indonesia Merdeka pernah menulis sebuah analisa tentang perimbangan kolonial dan menarik kesimpulan Indonesia akan memperoleh kemerdekaan dengan cara kekerasan.
“Adalah hukum sejarah bahwa lahirnya suatu bangsa selalu bersamaan dengan cucuran darah dan air mata. Cepat atau lambat, bangsa yang dijajah akan merebut kembali kemerdekaannya,” tulisnya tahun 1925.
Pada 27 September 1927, Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir ditangkap. Mereka dijebloskan ke penjara oleh Pengadilan Wilayah di Den Haag dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintahan.
Penangkapan para pemimpin PI menimbulkan reaksi keras di negeri Belanda dan Indonesia. Sebagai pembelaan terhadap para pemimpin PI yang ditangkap, para pengurus PI lainnya menerbitkan pamflet.
“Kami sudah memperingatkan Pemerintah Belanda akan kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan itu. Berbagai kejadian telah membuktikan bahwa kami benar, pada bulan November 1926 dan Januari 1927.”
Selama enam bulan di dalam penjara, akhirnya Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir diajukan ke pengadilan. Mereka dituduh telah menghasut rakyat menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Saat berada di penjara, Hatta membawa serta buku-bukunya dan satu bundel majalah Indonesia Merdeka. Dia menulis pembelaannya panjang lebar dengan judul Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka. Berbeda dengan pembelaan Soekarno yang berbicara tentang kejahatan ekonomi penjajah melalui sistem VOC, tanam paksa, dan kapitalisme-liberalisme-imperialisme, Hatta berbicara tentang politik secara murni.
Dalam pembelaannya, Hatta dengan berani menyerang pemerintahan Belanda yang sah dan sedang berkuasa. Hatta juga tanpa ragu-ragu membeberkan tujuan PI dalam memerdekaan Indonesia.
“Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, dari pada melihatnya sebagai embel-embel abadi dari pada suatu negara asing,” ungkap Hatta, mengutip majalah Indonesia Merdeka.
Walaupun pembelaan para pemimpin PI tersebut terdengar keras dan berisi ancaman kekerasan, namun Majelis Hakim Pengadilan Wilayah di Den Haag tidak menganggapnya sebagai suatu kejahatan.
Hatta dan kawan-kawannya akhirnya dibebaskan dan semua arsip, serta dokumentasi PI yang disita akhirnya dikembalikan. Kebebasan Hatta pun mendapat sambutan hangat dari dalam dan luar negeri.
Kala itu di Jakarta, Mohammad Hatta memperdalam ilmu ekonomi-politiknya di Sekolah Tinggi Dagang atau Handels Hoogeschool, di Rotterdam yang kemudian menjadi Sekolah Tinggi Ekonomi atau Economische Hoogeschool. Selama di Belanda, Hatta bukan hanya asyik dengan buku-bukunya. Dia juga aktif dalam Perhimpunan Hindia atau Indische Vereeniging yang didirikan sejak tahun 1908 oleh mahasiswa Indonesia di Belanda. Di organisasi itu, Hatta bertemu dengan sejumlah mahasiswa yang lebih tua dan banyak menghabiskan waktunya dalam organisasi. Pemikiran Hatta dalam politik dan pergerakan pun mengalami kematangan di sini.
Pengalamannya selama menjadi bendahara JBS membuat nama Hatta cukup dikenal oleh para pemimpin Perhimpunan Hindia yang kemudian menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) atau Indonesische Vereeniging. Saat Hatta bergabung dengan PI, suhu politik yang melingkupi para mahasiswa sedang hangat-hangatnya. Dia lalu diminta menghidupkan lagi majalah dwi bulanan milik organisasi Hindia Poetra. Dikutip dari Sinergi Bangsa, di tangan Hatta lah, majalah ini berperan sebagai senjata yang ampuh dalam menyebarkan semangat antikolonialisme. Ide nonkooperasi yang menjadi sikap politik Hatta dikemudian hari juga lahir dari sini.
Majalah Hindia Poetra kemudian menjadi Indonesia Merdeka. Dengan bergantinya nama Hindia menjadi Indonesia, ditambah kata Merdeka, pergerakan PI di Belanda menjadi semakin radikal dari sebelumnya. Perubahan radikal itu dimulai sejak Iwa Kusuma Sumantri menjabat sebagai ketuanya pada 1923, dan seterusnya hingga Hatta mengambil alih kepemimpinan organisasi mulai tahun 1926 hingga 1930. Saat Hatta memimpin PI, situasi politik di Indonesia sedang panas. Terjadi pemogokan buruh, penangkapan, dan pembuangan sejumlah pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh pihak Belanda.
Aksi ini menyulut perlawanan yang lebih keras. Pada bulan November 1926, PKI memimpin pemberontakan rakyat untuk menggulingkan Pemerintah Kolonial Belanda, namun menemui kegagalan sangat fatal. Sebagai balasan, Pemerintah Belanda melakukan penangkapan dan pembuangan secara besar-besaran terhadap anggota PKI, ulama, dan para santri yang terlibat. Beberapa di antaranya ditembak mati.
Setahun sebelum peristiwa itu, Indonesia Merdeka pernah menulis sebuah analisa tentang perimbangan kolonial dan menarik kesimpulan Indonesia akan memperoleh kemerdekaan dengan cara kekerasan.
“Adalah hukum sejarah bahwa lahirnya suatu bangsa selalu bersamaan dengan cucuran darah dan air mata. Cepat atau lambat, bangsa yang dijajah akan merebut kembali kemerdekaannya,” tulisnya tahun 1925.
Pada 27 September 1927, Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir ditangkap. Mereka dijebloskan ke penjara oleh Pengadilan Wilayah di Den Haag dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintahan.
Penangkapan para pemimpin PI menimbulkan reaksi keras di negeri Belanda dan Indonesia. Sebagai pembelaan terhadap para pemimpin PI yang ditangkap, para pengurus PI lainnya menerbitkan pamflet.
“Kami sudah memperingatkan Pemerintah Belanda akan kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan itu. Berbagai kejadian telah membuktikan bahwa kami benar, pada bulan November 1926 dan Januari 1927.”
Selama enam bulan di dalam penjara, akhirnya Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdul Madjid, dan Nazir diajukan ke pengadilan. Mereka dituduh telah menghasut rakyat menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Saat berada di penjara, Hatta membawa serta buku-bukunya dan satu bundel majalah Indonesia Merdeka. Dia menulis pembelaannya panjang lebar dengan judul Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka. Berbeda dengan pembelaan Soekarno yang berbicara tentang kejahatan ekonomi penjajah melalui sistem VOC, tanam paksa, dan kapitalisme-liberalisme-imperialisme, Hatta berbicara tentang politik secara murni.
Dalam pembelaannya, Hatta dengan berani menyerang pemerintahan Belanda yang sah dan sedang berkuasa. Hatta juga tanpa ragu-ragu membeberkan tujuan PI dalam memerdekaan Indonesia.
“Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, dari pada melihatnya sebagai embel-embel abadi dari pada suatu negara asing,” ungkap Hatta, mengutip majalah Indonesia Merdeka.
Walaupun pembelaan para pemimpin PI tersebut terdengar keras dan berisi ancaman kekerasan, namun Majelis Hakim Pengadilan Wilayah di Den Haag tidak menganggapnya sebagai suatu kejahatan.
Hatta dan kawan-kawannya akhirnya dibebaskan dan semua arsip, serta dokumentasi PI yang disita akhirnya dikembalikan. Kebebasan Hatta pun mendapat sambutan hangat dari dalam dan luar negeri.
No comments