![]() |
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942, ketika dunia berada di tengah puncak perang dunia kedua dan Indonesia masih dalam proses perjuangan menuju kemerdekaan di bawah kependudukan Jepang.
Berbicara tentang hidup dan buah karya pemikiran Gie tentang Indonesia, sedikit banyak juga harus memahami tentang latar belakang lingkungan pada saat Gie dibesarkan.
Untuk seseorang yang lahir di tahun 40an, bisa dibayangkan bahwa Gie dibesarkan dan hidup ketika negara Indonesia ibarat bayi yang baru mulai merangkak untuk berdiri dan berjalan sendiri.
Saat itu, pastinya Indonesia belum sekompak sekarang ini yang bisa begitu berapi-api membela timnas sepak bola saat melawan negara tetangga. Pada masa awal-awal berdirinya negara Indonesia, masih banyak diliputi kemelut dengan berbagai macam bentuk kepentingan.
Pada masa kecil dan remaja Gie, saat itu Indonesia masih belajar untuk menemukan karakter dan jati diri bangsa yang sesungguhnya, ketika rakyat Indonesia sendiri dari Sabang sampai Merauke itu masih dalam proses mencintai negara yang baru saja berdiri.
Sehingga seringkali masih “rewel” dan “bandel” dengan sederetan pemberontakan yang menuntut daerahnya untuk lepas dari kedaulatan RI seperti pemberontakan Madiun (1948), pemberontakan PERMESTA di Manado (1958-1961), pemberontakan DI/TII di Aceh (1953), pemberontakan PRRI di Padang (1958), Pemberontakan Republik Maluku Selatan (1950), dan lain-lain.
Sementara itu di sisi lain, pemerintah Indonesia sendiri belum punya sistem yang se-professional sekarang ini. Pada masa-masa itu, semua elemen masyarakat mau ikut terlibat dalam pemerintahan untuk ikut ambil bagian mengatur arah bangsa ini. Dari mulai PNI, Masyumi, NU, PKI, Parkindo, PSI, Murba, IKPI, PSII, Perti, dan masih banyak lagi.
Jadi jangan dibayangkan pada masa awal berdirinya negara Indonesia “semangat kemerdekaan 45” itu dirayakan dengan penuh kekompakan oleh semua lapisan masyarakat untuk membangun Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, sebetulnya bisa dibilang Indonesia banyak diwarnai oleh konflik kepentingan antara kaum intelektual borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok nasionalis lainnya.
Situasi politik di Indonesia pun masih dibilang sangat kacau karena tidak adanya profesionalisme yang menyebabkan korupsi, kolusi, dan nepotisme merebak dengan tidak terkendali dan (hampir) semua pihak lebih mementingkan kepentingan partainya masing-masing.
Itulah kurang lebih gambaran situasi yang menemani Gie dari kecil hingga remaja, yang tentu berpengaruh besar terhadap pandangan, pemikiran, gagasan, serta keputusan-keputusan Gie selama hidupnya.
Pemahaman Gie tentang sejarah, politik, ekonomi itu diuji di masa remaja ketika Indonesia berada dalam masa paling kritis, paling gelap, dan paling mencekam sepanjang sejarah republik ini didirikan.
Pada saat itulah dia memenuhi panggilannya sebagai seorang intelektual muda dengan menulis kritik keras terhadap pemerintah dan membangun bibit-bibit kesadaran demokrasi agar setiap lapisan masyarakat Indonesia juga memahami masalah di negaranya sehingga kelak ikut terlibat dalam menentukan arah hidup bangsa ini.
Gie juga dikenal sebagai orang yang paling vokal mengkritik kinerja pemerintahan era Sukarno (Orde Lama) serta menjadi salah satu arsitek aksi long-march dan demonstrasi besar mahasiswa tahun 1966 yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.
Perawakannya kecil, alim, cara jalan Gie yang lucu, senjatanya boleh jadi hanya pena dan mesin ketik. Tapi ketajaman tulisannya di harian Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, and Indonesia Raya membuat seluruh politikus korup saat itu gerah.
Gie gak pernah sembarangan menulis dan pastinya bukan tipe mahasiswa yang asal kritik. Dia tahu betul situasi ekonomi, dia tahu betul situasi politik, dan dia tahu betul masalah sosial, peran pemerintah, dan konsekuensinya bagi masyarakat luas. Dia tahu apa yang sedang dia perjuangkan.
Pada masa-masa itu (pasca G30S/65), seluruh lapisan masyarakat di Indonesia diam dalam kengerian. Para awak media dan wartawan bungkam karena takut mengungkap kebenaran.
Lalu siapakah orang pertama yang berani berteriak lantang menyatakan kebenaran? Ya, siapa lagi kalau bukan Soe Hok Gie.
Dia adalah orang yang pertama kali dengan berani membeberkan serangkaian peristiwa pembunuhan di Bali oleh rezim ORBA yang (pada saat itu) diperkirakan menelankan korban sampai 80.000 jiwa.
Keberanian Gie mengungkapkan fakta pada masa itu mungkin bagi sebagian orang saat itu dinilai naif, sembrono, bahkan mungkin tidak sayang nyawa. Tapi bagi seorang Soe Hok Gie, itu adalah panggilannya sebagai seorang intelektual, untuk berani menyatakan kebenaran.
Ada seorang teman Gie dari Amerika yang menulis surat bahwa Gie akan selalu menjadi intelektual yang bebas tapi juga seorang pejuang yang sendirian. Gie menjawab dengan kata-kata ini:
“Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”
Pada tanggal 16 Desember 1969 Soe Hok Gie mengembuskan napas terakhir di tanah tertinggi di Pulau Jawa karena (diduga kuat) menghirup gas beracun, pada usia 27 tahun kurang satu hari.
Peristiwa kematiannya ini begitu menghebohkan banyak elemen masyarakat Indonesia pada masa itu, dari mulai para akademisi, wartawan, kaum aktivis mahasiswa, dan banyak pihak lainnya.
Sampai-sampai ada sebagian masyarakat yang menduga Gie sebetulnya dibunuh oleh pihak pemerintah Orde Baru pada masa itu, karena dinilai terlalu keras mengkritik pemerintah.
Berbicara tentang hidup dan buah karya pemikiran Gie tentang Indonesia, sedikit banyak juga harus memahami tentang latar belakang lingkungan pada saat Gie dibesarkan.
Untuk seseorang yang lahir di tahun 40an, bisa dibayangkan bahwa Gie dibesarkan dan hidup ketika negara Indonesia ibarat bayi yang baru mulai merangkak untuk berdiri dan berjalan sendiri.
Saat itu, pastinya Indonesia belum sekompak sekarang ini yang bisa begitu berapi-api membela timnas sepak bola saat melawan negara tetangga. Pada masa awal-awal berdirinya negara Indonesia, masih banyak diliputi kemelut dengan berbagai macam bentuk kepentingan.
Pada masa kecil dan remaja Gie, saat itu Indonesia masih belajar untuk menemukan karakter dan jati diri bangsa yang sesungguhnya, ketika rakyat Indonesia sendiri dari Sabang sampai Merauke itu masih dalam proses mencintai negara yang baru saja berdiri.
Sehingga seringkali masih “rewel” dan “bandel” dengan sederetan pemberontakan yang menuntut daerahnya untuk lepas dari kedaulatan RI seperti pemberontakan Madiun (1948), pemberontakan PERMESTA di Manado (1958-1961), pemberontakan DI/TII di Aceh (1953), pemberontakan PRRI di Padang (1958), Pemberontakan Republik Maluku Selatan (1950), dan lain-lain.
Sementara itu di sisi lain, pemerintah Indonesia sendiri belum punya sistem yang se-professional sekarang ini. Pada masa-masa itu, semua elemen masyarakat mau ikut terlibat dalam pemerintahan untuk ikut ambil bagian mengatur arah bangsa ini. Dari mulai PNI, Masyumi, NU, PKI, Parkindo, PSI, Murba, IKPI, PSII, Perti, dan masih banyak lagi.
Jadi jangan dibayangkan pada masa awal berdirinya negara Indonesia “semangat kemerdekaan 45” itu dirayakan dengan penuh kekompakan oleh semua lapisan masyarakat untuk membangun Indonesia.
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, sebetulnya bisa dibilang Indonesia banyak diwarnai oleh konflik kepentingan antara kaum intelektual borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok nasionalis lainnya.
Situasi politik di Indonesia pun masih dibilang sangat kacau karena tidak adanya profesionalisme yang menyebabkan korupsi, kolusi, dan nepotisme merebak dengan tidak terkendali dan (hampir) semua pihak lebih mementingkan kepentingan partainya masing-masing.
Itulah kurang lebih gambaran situasi yang menemani Gie dari kecil hingga remaja, yang tentu berpengaruh besar terhadap pandangan, pemikiran, gagasan, serta keputusan-keputusan Gie selama hidupnya.
Pemahaman Gie tentang sejarah, politik, ekonomi itu diuji di masa remaja ketika Indonesia berada dalam masa paling kritis, paling gelap, dan paling mencekam sepanjang sejarah republik ini didirikan.
Pada saat itulah dia memenuhi panggilannya sebagai seorang intelektual muda dengan menulis kritik keras terhadap pemerintah dan membangun bibit-bibit kesadaran demokrasi agar setiap lapisan masyarakat Indonesia juga memahami masalah di negaranya sehingga kelak ikut terlibat dalam menentukan arah hidup bangsa ini.
Gie juga dikenal sebagai orang yang paling vokal mengkritik kinerja pemerintahan era Sukarno (Orde Lama) serta menjadi salah satu arsitek aksi long-march dan demonstrasi besar mahasiswa tahun 1966 yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.
Perawakannya kecil, alim, cara jalan Gie yang lucu, senjatanya boleh jadi hanya pena dan mesin ketik. Tapi ketajaman tulisannya di harian Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, and Indonesia Raya membuat seluruh politikus korup saat itu gerah.
Gie gak pernah sembarangan menulis dan pastinya bukan tipe mahasiswa yang asal kritik. Dia tahu betul situasi ekonomi, dia tahu betul situasi politik, dan dia tahu betul masalah sosial, peran pemerintah, dan konsekuensinya bagi masyarakat luas. Dia tahu apa yang sedang dia perjuangkan.
Pada masa-masa itu (pasca G30S/65), seluruh lapisan masyarakat di Indonesia diam dalam kengerian. Para awak media dan wartawan bungkam karena takut mengungkap kebenaran.
Lalu siapakah orang pertama yang berani berteriak lantang menyatakan kebenaran? Ya, siapa lagi kalau bukan Soe Hok Gie.
Dia adalah orang yang pertama kali dengan berani membeberkan serangkaian peristiwa pembunuhan di Bali oleh rezim ORBA yang (pada saat itu) diperkirakan menelankan korban sampai 80.000 jiwa.
Keberanian Gie mengungkapkan fakta pada masa itu mungkin bagi sebagian orang saat itu dinilai naif, sembrono, bahkan mungkin tidak sayang nyawa. Tapi bagi seorang Soe Hok Gie, itu adalah panggilannya sebagai seorang intelektual, untuk berani menyatakan kebenaran.
Ada seorang teman Gie dari Amerika yang menulis surat bahwa Gie akan selalu menjadi intelektual yang bebas tapi juga seorang pejuang yang sendirian. Gie menjawab dengan kata-kata ini:
“Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.”
Pada tanggal 16 Desember 1969 Soe Hok Gie mengembuskan napas terakhir di tanah tertinggi di Pulau Jawa karena (diduga kuat) menghirup gas beracun, pada usia 27 tahun kurang satu hari.
Peristiwa kematiannya ini begitu menghebohkan banyak elemen masyarakat Indonesia pada masa itu, dari mulai para akademisi, wartawan, kaum aktivis mahasiswa, dan banyak pihak lainnya.
Sampai-sampai ada sebagian masyarakat yang menduga Gie sebetulnya dibunuh oleh pihak pemerintah Orde Baru pada masa itu, karena dinilai terlalu keras mengkritik pemerintah.
No comments