![]() |
Pemuda intelektual itu bernama Soe Hok Gie, ia lahir pada 17 Desember 1942, ketika dunia berada di tengah puncak perang dunia kedua dan Indonesia masih dalam proses perjuangan menuju kemerdekaan di bawah kependudukan Jepang.
Gie kecil mulai bersekolah di Sin Hwa School, kemudian masuk SMP Strada di daerah Gambir, lalu melanjutkan masa remaja di SMA Kanisius Jakarta jurusan sastra. Masa mudanya dia habiskan di Jakarta dimana dia melihat potret ibukota negara Indonesia yang penuh dengan dinamika sosial dan politik.
Disaat anak-remaja zaman sekarang tumbuh dengan sinetron, idol group, dan “reality” show selebrity. Gie menghabiskan masa kecil-remajanya dengan bolak-balik ke perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan Kota Jakarta.
Disaat anak-anak lain seumurannya masih suka keluyuran main layangan, gundu, atau ngoboy keliling kota. Gie mengisi masa kecil-remajanya dengan membaca puluhan (atau mungkin ratusan) “dongeng” sastra klasik, filsafat, sejarah, dan biografi tokoh-tokoh yang mengubah dunia.
Sejak dini (umur 15 tahun), Gie telah membaca tentang dinamika politik di berbagai sudut belahan dunia, tentang berbagai macam pergolakan sejarah pemikiran yang bermunculan dari zaman ke zaman, dari mulai filsafat klasik Yunani, hingga ide-ide utopis sebuah masyarakat yang ideal seperti Marx, Paine, Hobbes, Hegel.
Gie terbuai dengan begitu banyak kisah sejarah jatuh-bangunnya peradaban, tentang pemikiran-pemikiran progressive tokoh-tokoh dunia yang memerdekakan rakyatnya seperti Gandhi, Martin Luther K Jr, Kartini, dan lain-lain.
Gie juga mengapresiasi sastra kelas dunia yang menggambarkan romantisme emosi dan pemikiran setiap zaman seperti Nietzsche, Tagore, A.Camus, G.Orwell, Steinbeck, Pramoedya, dan lainnya.
Sejak kecil Gie sudah terpesona dengan ilmu dan menikmati proses belajar dengan kegembiraan, bukan belajar karena tekanan dari sekolah atau sekedar mendapatkan nilai yang bagus.
Di sisi lain kehidupannya, Gie bukanlah orang yang selalu menghabiskan waktunya dengan belajar, baca buku, menulis, dan mengkritik pemerintah. Dia juga manusia biasa dengan segala kekonyolan dan romantikanya tersendiri.
Untuk hobi, Soe Hok Gie yang alim dan badannya kecil ini punya hobi yang agak nyentrik saat itu, yaitu naik gunung!
Jauh sebelum kegiatan naik gunung itu populer di kalangan anak muda zaman sekarang. Soe Hok Gie, Herman Lantang, Maulana, Koy Gandasuteja, dan kawan-kawannya yang lain menjadi perintis berdirinya MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam).
Sebuah organisasi pecinta alam yang sampai saat ini aktif sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di Universitas Indonesia. Ada satu penggalan kata-kata Soe Hok Gie ketika dia ditanya apa alasan dan tujuannya mendirikan organisasi pecinta alam ini:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Gie adalah orang yang tahu betul setiap alasan di balik tindakan dan keputusannya. Bagi seorang Gie, rasa nasionalisme dan kecintaan pada bangsa itu tak mungkin bisa dipupuk hanya dengan slogan dan bentuk propaganda yang dicekoki oleh pemerintah (makanya terjadi banyak pemberontakan pada masa itu).
Menurut dia rasa nasionalisme dan rasa kebersatuan dengan bangsa itu hanya bisa tumbuh jika orang yang bersangkutan terlibat dan menyentuh langsung secara tulus dan melalui proses yang sehat.
Satu hal lain yang menarik dibalik kehidupan pribadi seorang pemuda yang cerdas dan berani adalah bahwa ternyata Gie itu sangat payah dalam percintaan. Menurut beberapa kawan dekatnya, Gie dikenal sebagai orang yang pemalu dan payah kalo soal mendekati perempuan.
Tapi di satu sisi Gie adalah orang yang romantis, pecinta binatang, dan tulus dalam persahabatan.
Satu hal ironis yang dialami Gie menjelang kematiannya adalah ketika semua orang lambat laun menjauhi dirinya karena takut dianggap terlibat dan berkawan dengan pembela PKI.
Banyak orang-orang yang mengagumi dan membutuhkan dirinya, tapi sangat sedikit yang mau terlibat dan menemani Gie untuk berjuang bersama. Mungkin itulah tamparan sekaligus ujian terbesarnya sebagai orang yang memutuskan untuk menjadi manusia yang merdeka dalam melawan kesewenang-wenangan.
Bahwa untuk menjadi seorang yang jujur dan berani menyatakan kebenaran, dia juga harus berani melawan kesepian, kesendirian, dan segala konsekuensinya.
"Saya bermimpi tentang sebuah dunia dimana tokoh agama, buruh dan pemuda bangkit dan berkata : Stop Semua Kemunafikan! Stop semua pembunuhan atas nama apapun! Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.”
Semoga segala kebaikan dan semangat Soe Hok Gie yang diwariskan tetap abadi dan terus menginspirasi pemuda Indonesia.
Gie kecil mulai bersekolah di Sin Hwa School, kemudian masuk SMP Strada di daerah Gambir, lalu melanjutkan masa remaja di SMA Kanisius Jakarta jurusan sastra. Masa mudanya dia habiskan di Jakarta dimana dia melihat potret ibukota negara Indonesia yang penuh dengan dinamika sosial dan politik.
Disaat anak-remaja zaman sekarang tumbuh dengan sinetron, idol group, dan “reality” show selebrity. Gie menghabiskan masa kecil-remajanya dengan bolak-balik ke perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan Kota Jakarta.
Disaat anak-anak lain seumurannya masih suka keluyuran main layangan, gundu, atau ngoboy keliling kota. Gie mengisi masa kecil-remajanya dengan membaca puluhan (atau mungkin ratusan) “dongeng” sastra klasik, filsafat, sejarah, dan biografi tokoh-tokoh yang mengubah dunia.
Sejak dini (umur 15 tahun), Gie telah membaca tentang dinamika politik di berbagai sudut belahan dunia, tentang berbagai macam pergolakan sejarah pemikiran yang bermunculan dari zaman ke zaman, dari mulai filsafat klasik Yunani, hingga ide-ide utopis sebuah masyarakat yang ideal seperti Marx, Paine, Hobbes, Hegel.
Gie terbuai dengan begitu banyak kisah sejarah jatuh-bangunnya peradaban, tentang pemikiran-pemikiran progressive tokoh-tokoh dunia yang memerdekakan rakyatnya seperti Gandhi, Martin Luther K Jr, Kartini, dan lain-lain.
Gie juga mengapresiasi sastra kelas dunia yang menggambarkan romantisme emosi dan pemikiran setiap zaman seperti Nietzsche, Tagore, A.Camus, G.Orwell, Steinbeck, Pramoedya, dan lainnya.
Sejak kecil Gie sudah terpesona dengan ilmu dan menikmati proses belajar dengan kegembiraan, bukan belajar karena tekanan dari sekolah atau sekedar mendapatkan nilai yang bagus.
Di sisi lain kehidupannya, Gie bukanlah orang yang selalu menghabiskan waktunya dengan belajar, baca buku, menulis, dan mengkritik pemerintah. Dia juga manusia biasa dengan segala kekonyolan dan romantikanya tersendiri.
Untuk hobi, Soe Hok Gie yang alim dan badannya kecil ini punya hobi yang agak nyentrik saat itu, yaitu naik gunung!
Jauh sebelum kegiatan naik gunung itu populer di kalangan anak muda zaman sekarang. Soe Hok Gie, Herman Lantang, Maulana, Koy Gandasuteja, dan kawan-kawannya yang lain menjadi perintis berdirinya MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam).
Sebuah organisasi pecinta alam yang sampai saat ini aktif sebagai salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) di Universitas Indonesia. Ada satu penggalan kata-kata Soe Hok Gie ketika dia ditanya apa alasan dan tujuannya mendirikan organisasi pecinta alam ini:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Gie adalah orang yang tahu betul setiap alasan di balik tindakan dan keputusannya. Bagi seorang Gie, rasa nasionalisme dan kecintaan pada bangsa itu tak mungkin bisa dipupuk hanya dengan slogan dan bentuk propaganda yang dicekoki oleh pemerintah (makanya terjadi banyak pemberontakan pada masa itu).
Menurut dia rasa nasionalisme dan rasa kebersatuan dengan bangsa itu hanya bisa tumbuh jika orang yang bersangkutan terlibat dan menyentuh langsung secara tulus dan melalui proses yang sehat.
Satu hal lain yang menarik dibalik kehidupan pribadi seorang pemuda yang cerdas dan berani adalah bahwa ternyata Gie itu sangat payah dalam percintaan. Menurut beberapa kawan dekatnya, Gie dikenal sebagai orang yang pemalu dan payah kalo soal mendekati perempuan.
Tapi di satu sisi Gie adalah orang yang romantis, pecinta binatang, dan tulus dalam persahabatan.
Satu hal ironis yang dialami Gie menjelang kematiannya adalah ketika semua orang lambat laun menjauhi dirinya karena takut dianggap terlibat dan berkawan dengan pembela PKI.
Banyak orang-orang yang mengagumi dan membutuhkan dirinya, tapi sangat sedikit yang mau terlibat dan menemani Gie untuk berjuang bersama. Mungkin itulah tamparan sekaligus ujian terbesarnya sebagai orang yang memutuskan untuk menjadi manusia yang merdeka dalam melawan kesewenang-wenangan.
Bahwa untuk menjadi seorang yang jujur dan berani menyatakan kebenaran, dia juga harus berani melawan kesepian, kesendirian, dan segala konsekuensinya.
"Saya bermimpi tentang sebuah dunia dimana tokoh agama, buruh dan pemuda bangkit dan berkata : Stop Semua Kemunafikan! Stop semua pembunuhan atas nama apapun! Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun, dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.”
Semoga segala kebaikan dan semangat Soe Hok Gie yang diwariskan tetap abadi dan terus menginspirasi pemuda Indonesia.
No comments