Sekelumit Kisah Sutan Sjahrir dalam Pembuangan di Digoel dan Banda Neira


Gubernur Jend, de Graeff yang pensiun tahun 1931 diganti oleh Bonifacius Cornelis de Jonge. Baru saja menjabat, Jonkheer de Jonge langsung pusing menghadapi pergerakan para aktivis kemerdekaan yang semakin terkoordinir dan memiliki basis massa.

Akhirnya De Jonge mau gak mau harus kerja extra untuk memata-matai serta menangkapi orang-orang yang terbukti terlibat dalam gerakan pemberontakan. Salah satu tokoh yang ditangkap pertama adalah Sukarno tahun 1933. Khawatir dengan basis masa fans Sukarno yang banyaknya udah kelewatan di Pulau Jawa, Sukarno dibuang jauh-jauh ke Ende, Flores. Februari 1934, giliran sahabat duet Sjahrir dan Hatta yang diciduk.

Hatta ditahan di Penjara Glodok, Batavia, sedangkan Sjahrir dijebloskan di Penjara Cipinang, Meester Cornelis. Awalnya, sel tempat Sjahrir ditahan cukup lumayan untuk ukuran penjara. Tapi dalam hati Sjahrir tahu tak lama dia juga bakal bernasib sama dengan Sukarno, akan dibuang di tempat yang tak jelas! Ternyata benar dugaannya, Desember 1934 Sjahrir, Hatta, dan banyak aktivis lain seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, dibuang ke Boven Digoel, di pelosok paling pelosok dari Pulau Papua.

Sampia di Digoel, Sjahrir bengong karena harus membangun rumah sendiri dengan menebang kayu dari hutan lebat Papua. Boven Digoel adalah tanah pengasingan yang benar-benar tak ada apa-apa saat itu. Kalaupun ada sedikit penduduk lokal, tetap kalah banyak jumlahnya dengan nyamuk malaria dan buaya-buaya kelaparan di sepanjang rawa dan sungai.

Berbeda dengan Hatta yang introvert, pendiam, dan bisa dengan mudah larut berjam-jam hanya dengan membaca buku. Sjahrir yang pembawaannya lebih extrovert, bersemangat, dan spontan merasa kesepian di tanah pengasingan.

Di tanah buangan tanpa ada rumah sakit, sekolah, dan kepastian akan masa depan. Sjahrir banyak menghabiskan waktu untuk menulis surat pada istrinya Maria Duchateau di Belanda, yang sudah lama tidak ia temui.

Mungkin karena rindu istri, kesepian, dan stress tak bisa berkarya lebih banyak di pengasingan, kondisi psikologis Sjahrir mengalami demoralisasi. Dia jadi sering pergi ke rumah Hatta, dr Tjipto, dan yang lain pas tengah malam dengan beralasan mau minta gula, garam, dan lain-lain.

Padahal sebetulnya kemungkinan Sjahrir cuma lagi kesepian ingin ditemani ngobrol. Menurut jurnalis senior Rosihan Anwar, kalau Bung Hatta ditanyai tentang Sjahrir, Hatta bilang “Ah si Sjahrir lagi terganggu pikirannya dan jadi agak sinting!” candaan itu pun membuat orang tertawa.

2 Januari 1936, penderitaan Sjahrir, Hatta, dan yang lain jadi lebih ringan karena dipindahkan ke Banda Neira, Maluku. Di tempat inilah akhirnya Sjahrir menemukan kedamaian tinggal di daerah terpencil dengan di kelilingi penduduk lokal yang bersahabat (bukan nyamuk malaria dan buaya lagi).

Di Banda Neira, Sjahrir yang extrovert dan bersemangat menyalurkan energinya untuk main sama anak-anak dan mengajar penduduk lokal. Begitu dekatnya dia sama anak-anak di daerah itu, tiga di antaranya dia angkat sebagai anak.

Sjahrir dan Hatta menanti pembebasan selama 5 tahun di Banda Neira, sampai Jepang menyerang Pearl Harbour (Desember 1941), Kepulauan Pasifik, dan Malaya. Dalam ekspansi wilayah itu, Pulau Ambon juga kena kepungan oleh Jepang. Untung belum terlambat, pemerintahan Hindia memutuskan memindahkan Sjahrir dan tahanan-tahanan lain ke Pulau Jawa sampai akhirnya Jepang betul-betul menguasai Nusantara, dan membebaskan semua tawanan politik Hindia Belanda.

No comments