[Cerbung Part II] Rafflesia Merekah di Britania Raya


Raffa tersenyum, namun tatapan teduh matanya seperti mengenang sesuatu. Satu hal yang amat dalam namun memancarkan keindahan, terkait hal ini, Raffa memang belum pernah cerita pada Aan. Ia juga pernah jatuh cinta.

“Sebenarnya An…” Raffa berujar pelan.

“Bro, ini ada sms Ridho! Dia lagi di Kampung Cina, kita ajak kesini sekalian minta bawain makanan.” pungkas Aan lalu membalas pesan singkat dari Ridho. Ia tak mendengar saat Raffa akan mengatakan sesuatu.

Tak menunggu lama, terlihat Ridho berjalan ke arah mereka dan memegang kantong plastik putih. Ridho tampak santai mengenakan kaos oblong biru muda, jeans longgar selutut dan…

“Busett Dho… kau pakai sandal jepit? Emang dari mana?” Aan tertawa dan langsung menyambar martabak yang dibawa Ridho.

“Tadi sih niatnya mau aku sumbangin ke Pondok Sandal Jodoh, siapa tahu kan besok-besok aku gak jomblo lagi,” candanya.

“Kalian lagi ngerjain skripsi?” lanjut Ridho.

Dua lelaki di hadapan Ridho pun mengangguk, mereka bertiga sama pusingnya hanya saja Ridho sudah acc untuk melakukan penelitian. Ridho juga kuliah di kampus yang beda dengan Raffa dan Aan. Mereka kenal dekat karena aktivitas organisasi di luar kampus.

“Oh iya, Raff… tadi Sinta nitip salam,” Ridho menyeringai bermaksud menggoda Raffa.

“Siapa lagi itu?” batin Raffa.

“Kebetulan yang nanya tipe cewek idaman tadi itu juga Sinta,” sambung Aan sambil menikmati gigitan martabak isi kacang dengan olesan keju dan taburan gula pasir.

Belaian angin di pelataran Benteng Marlborough membuat suasana hening sejenak, barisan jeruji besi yang berseberangan dengan pandangan seolah paham bahwa ada sekeping hati yang tengah tertahan.

“Jadi gimana Raff?”

“Hm? Apanya yang gimana?”

“Soal Sinta,”

“Wa’alaikum salam. Tadi dia bilang salam kan?”

“Hahaha…”

Seketika meledaklah tawa Aan dan Ridho. Sebelumnya mereka berdua juga merasa tak mengenal Sinta, namun gadis itu mengaku pernah bertemu mereka di komunitas yang sama lalu ia mencari tahu teman dekat Raffa.

“Apanya yang lucu sih?” lirih Raffa dengan senyuman bertengger di wajah kokohnya. Ia lalu menggelengkan kepala melihat Aan dan Ridho yang masih tertawa.

Raffa langsung mengubah topik pembicaraan, ia menyinggung soal Ridho yang kerap kali diminta Ibunya menikah setelah tamat kuliah.

“Besok kita gabung sama anak MAPALA kampusku mau gak? Ada Rafflesia mekar di Kepahiang, beberapa anak MAPALA mau kesana,”

Kali ini Ridho yang memutar candaan Raffa, ia merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan rencana Ibunya. Terlebih lagi beberapa hari yang lalu Ibunya mengatakan akan menjodohkan Ridho, bahkan hal itu tak membuat Ridho khawatir. Ia adalah tipe lelaki yang percaya bahwa cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan, dengan syarat perempuan itu baik kemungkinan besar Ridho akan menerima perjodohan itu.

“Boleh tuh, kau bisa Raff?” sela Aan lalu meraih gelas air mineral yang tadi dibawa Ridho.

“Minggu besok itu jadwalku kebersihan kos, tapi bisa kuatur lah,” Raffa menimbang-nimbang kemudian mengingat Ibu kosnya yang sangat cinta dan pro pada kebersihan kos. Lelaki satu pondokan kerap kali kena semprot kalau membuang sampah sembarangan.

***

“Raff, kalau dulu itu aku yang menemukan bunga ini, pasti namanya sekarang Bunga Anugrah,” Aan dan candaan adalah dua hal yang tak terpisahkan, ia jarang terlihat sedih, bahkan ketika dunianya gelap sekalipun masih saja candaan terlontar dengan mudah.

This is Rafflesia Arnoldii. The area of the protected forest in Kepahiang regency constitutes the habitat for Rafflesia flower. This flower often flourishes in a place where the ecosystem is still fresh and untouched, like in Pagar Gunung village, Ujan Mas District and Tebat Monok village, Kepahiang District. (Nah, ini lah yang namanya Bunga Rafflesia Arnoldii. Kawasan hutan lindung di kabupaten Kepahiang ini merupakan habitat dari Bunga Rafflesia yang kerap muncul pada kondisi alam dengan ekosistem yang masih asri antara lain di desa Pagar Gunung kecamatan Ujan Mas dan desa Tebat Monok kecamatan Kepahiang).”

Samar-samar suara seorang perempuan terdengar, gadis itu membawa turis satu rombongan yang ingin melihat Bunga Rafflesia. Penjelasan yang baru saja didengar oleh Raffa dan Aan pun menggunakan Bahasa Inggris.

“Nah, itu adek tingkatku. Dia mahasiswa baru,” beritahu Ridho pada kedua sahabatnya.

“Wah, keren juga! Mahasiswa baru udah bawa rombongan turis gitu. Kita dulu pas mahasiswa baru malah melongo liat orang satu prodi udah pada lancar bahasa Inggris, iya kan Raff?” Aan menyikut siku Raffa, lelaki itu pun kemudian mengangguk mengiyakan ucapan Aan.

Dulu, berpijak di prodi Bahasa Inggris rasanya seperti tersesat di hutan belantara. Kesamaan itu juga yang membuat Raffa dan Aan menjadi sahabat, mereka lalu mengikuti organisasi luar kampus hingga kemampuan speaking mereka mumpuni dan diakui.

“Ok ok, sudah dulu nostalgianya! Ini aku bawa kamera, kita foto bareng dulu,” sela Ridho.

Hawa dingin di daerah Kepahiang memang tak sedingin di Curup, namun mereka masih harus merapatkan jaket sebab hari masih pagi dan dingin sesekali menusuk bersamaan lewatnya angin.

Bunga Rafflesia yang tengah mekar di kelilingi pagar tali agar pengunjung tak terlalu dekat guna menjaga keutuhan setiap kelopak Rafflesia Arnoldii.
Puas mengambil gambar, rombongan pun memutuskan kembali dan baru menyadari matahari sudah berdiri di atas kepala.

Di pertengahan jalan, adzan zuhur berkumandang. Ridho yang memimpin rombongan pun berhenti sejenak di depan masjid terdekat.

“Wah, gawat bro!” Aan memasang wajah panik.

“Ada apa?” tanya Raffa santai sambil melepas helm dan jaket. Segawat apapun yang dikatakan Aan, ia tak ingin terlalu khawatir karena dulu Raffa pernah terjebak saat ia mendapat telepon dari Aan yang lagi panik setengah mati, mendengar hal itu Raffa langsung bergegas ke rumah Aan dan ia hanya mendapati Aan berdiri terkaget melihat kucingnya muntah.

Demi apa kadang ia kesal dengan selera humor Aan yang di atas rata-rata. Raffa juga memiliki selera humor yang baik namun berbeda level dengan Aan.

“Perutku protes! Sepertinya dia mulai lapar,” jawab Aan.

“Firasatku benar…” desah Raffa lalu mengabaikan Aan. Ia segera menyusul Ridho yang sudah siap berwudhu.

***

Hidup adalah tentang perputaran waktu dan hal-hal baik apa saja yang sudah kita lakukan? Ketika ada beberapa mimpi yang harus direlakan, itu juga bagian dari skenario kehidupan. Kadang tak banyak urusan yang lancar sesuai keinginan, namun itulah seni dari sebuah tantangan.

“Skripsi memang cobaan, tapi sekarang jadi menyenangkan,” Raffa menyeringai menghadapi laptop kesayangan, ia baru saja mendapat acc penelitian dari Bu Sonia pembimbing utamanya. Sementara acc dari Pak Kurniawan pembimbing keduanya sudah ia dapatkan jauh-jauh hari.

Jemari dan keyboard laptop sangat bersahabat ketika ia tengah semangat, namun dering ponsel menyita perhatian. Sebuah pesan singkat masuk, nomor yang tak dikenali Raffa.

Raff, ini aku Sinta. Masih ingat kan? Dulu kita pernah gabung di satu komunitas waktu aku masih di Bengkulu. Tapi sejak dua tahun lalu aku ikut keluargaku pindah ke Madura. Aku kuliah disini sekarang,

“Wah, padahal aku gak nanya,” kata Raffa lalu meletakkan ponselnya di atas meja, kalau tidak Aan pastilah Ridho yang memberikan nomor ponsel Raffa ke Sinta. Siapapun yang melakukannya, Raffa bahkan tak berniat membalas pesan dari Sinta.

Aku kagum banget loh liat potret perjalananmu ke negeri seberang tahun kemarin. Raff, kau punya pacar? Kalau belum, berarti aku punya kesempatan dong hehe…
Baru saja sepasang mata Raffa pindah ke layar laptop namun ponselnya berdering lagi. “Demi apa ini sepertinya kalau gak dibalas gak akan selesai.” sejenak, tampak Raffa membalas pesan dari Sinta.

Bersambung…

No comments