[Cerbung Part III] Rafflesia Merekah di Britania Raya


Baru saja sepasang mata Raffa pindah ke layar laptop namun ponselnya berdering lagi. “Demi apa ini sepertinya kalau gak dibalas gak akan selesai,” sejenak, tampak Raffa membalas pesan dari Sinta.

“Maaf Sinta, aku bukan Rama.”

***

“Haha… gokil! Jadi kau bilang gitu ke Sinta? Wajar dia gak pernah nanya-nanya lagi ke aku,” celetuk Aan ketika mendengar penjelasan Raffa mengenai pesan yang diterimanya kemarin siang.

“Iya, ponselku juga sudah sepi sejak Sinta gak pernah tanya-tanya lagi,” tambah Ridho.

“Bagus lah! Berarti kalian bisa fokus penelitian. Aku juga mulai penelitian besok,”

Menginjak tahap akhir di perguruan tinggi, selain jarang ke kampus mereka juga tidak lagi seaktif dulu dalam berorganisasi. Kadang, ada rasa rindu menyelinap pada aktivitas-aktivitas selama kuliah. Menghadapi hal itu, Raffa, Aan dan Ridho memilih kumpul di waktu luang.

“Apa nih rencana kalian pas tamat kuliah?” Ridho menyela.

“Lanjut kuliah!” jawab Raffa dan Aan bersamaan, mereka lalu tertawa setelahnya. Ridho tampak berpikir keras, ia juga ingin melanglangbuana sebab ia sangat menyukai petualangan sama halnya seperti Raffa dan Aan.

“Mungkin aku harus diskusi sama Ibu, sekarang aku juga ingin seperti kalian. Bebas memilih,”

“Iya Dho, pertama-tama kita harus membuat diri kita berkelas biar mendapat jodoh yang berkelas juga di masa depan,” Raffa menepuk-nepuk bahu Ridho.

“Eh Raff, Ridho udah berkelas dari sononya kali haha, disuapin sendok perak sejak lahir,” komentar Aan.

Perbedaan adalah warna dalam persahabatan, sebab dalam beda disematkan anugerah untuk saling melengkapi.

“Oh iya, besok ada aksi damai Peduli Palestina. Kalian ikut gak? Kapan lagi kita bisa ikut aksi,” kenang Raffa mengingat dirinya yang dulu ketika selalu tampil di barisan depan saat aksi turun ke jalan.

“Aku ikut! Ridho tuh sekali-kali bawalah almamater biru gelap ke jalan, dulu aja garang… sekarang bisanya duduk manis,” singgung Aan.

“Almamater hijau kami sampai gak ada kancingnya lagi karena keseringan dipakai.” lanjutnya.

“Bro, besok itu aksi damai! Bukan memprotes pemerintah,” gerutu Ridho. Dalam hati ia memang mengakui sudah sangat lama ia tak melantangkan suara di jalanan. Terhitung sejak semester enam.

“Oh iya ya! Berarti kita pakai baju putih aja sama ikatkan pita bendera Palestina di peci hitam,” Aan mengangguk-angguk kemudian mengingat sesuatu, “Astaga, baju putihku sobek. Raff, aku pinjam bajumu nanti ya?”

“Woi, baju putihku cuma satu. Pinjam ke Ridho aja, stok bajunya pasti gak muat di lemari,”

***

Simpang Lima Ratu Samban adalah tempat yang sangat familiar bagi mahasiswa di Bengkulu, titik kumpul di Masjid Jamik lalu long march ke Simpang Lima. Iring-iringan berjalan rapi dan sesekali menyuarakan takbir.

“Ini nih yang aku suka waktu lagi aksi, ada debaran yang bikin semangat,” bisik Raffa yang berjalan diantara Ridho dan Aan.

“Kau lagi jatuh cinta berarti ya Raff? Berdebar-debar gitu,” komentar Aan.

“Yak elah nih anak! Iya, aku jatuh cinta. Tiap hari malah, sama Sang Pencipta.”

“Hush! Itu ada pembacaan puisi, kita dengarin dulu! Nanti aja ributnya.” Ridho menengahi sembari menunjuk ke arah barisan depan.

Terlihat seorang wanita memegang pengeras suara dan selembar kertas. Ia mulai membaca puisi dengan penuh penjiwaan. Syair-syair yang dibaca menuntut kepedulian sesama pada saudara di negeri seberang, Palestina.

“Eh, dia bukannya cewek Rafflesia yang waktu itu?”

Bersambung…


No comments