[Cerbung Part V] Rafflesia Merekah di Britania Raya

“Eh Raff… itu kan dia?” Aan menoleh jauh ke seberangnya.

“Adek tingkatmu itu ngapain kesini juga Dho? Bawa buket bunga lagi…” lanjutnya.

“Mana?” tanya Ridho dan Raffa bersamaan, mereka tak mendapati lagi sosok yang tadi dilihat Aan. Tak ingin fokus pada hal itu, mereka lanjut pada sesi foto keluarga.

Kedua orangtua Raffa dan kedua kakaknya turut hadir, bahkan banyak teman-temannya yang datang dan mengucapkan selamat. Ia amat bahagia meski sedikit khawatir bagaimana ke depannya?

Sesulit apapun jalan yang kelak dihadapi, mereka harus tetap berdiri kuat sebagai seorang lelaki sejati. Sebab kehidupan akan selalu menyakiti jika berlemah diri.

“Kita gak perlu kursus TOEFL, cukup belajar bareng sama yang lain,” saran Ridho saat selesai berfoto. Raffa dan Aan setuju. Selain menghemat biaya, belajar dengan teman-teman jauh lebih semangat meski kadang juga lebih banyak bercandanya.

Sepanjang hari itu adalah ejaan dari kata bahagia, luapan tawa dan berkumpul dengan keluarga. Satu tugas besar pun terselesaikan dengan baik, dan jelas sekali bahwa di depan mata sudah banyak tugas-tugas lain yang menanti.

Kehidupan mulai menyeringai memperlihatkan taring yang sesungguhnya. Coretan-coretan impian yang pernah ditulis sebagian harus diikhlaskan, lalu sebagian lagi masih harus diperjuangkan.

***

Raffa mulai mendapati hari-harinya membosankan. Tidak seperti biasanya ketika ia bangun tidur, mandi dan bersiap-siap lalu ke kampus. Sekarang… ia bahkan tak tahu harus berbuat apa.

“Kehidupan terlalu normal tidak cocok untukku,” desahnya lalu berdiri mengambil handuk. Ia punya rencana hari ini, pergi ke tempat Aan kemudian belajar bersama di tempat Ridho.

Lelaki satu itu sangat menyukai petualangan, semenjak selesai wisuda ia memang tak pulang ke kampung halaman melainkan tetap menjadi penghuni setia kos-kosan tercinta. Bukan karena tak ada pilihan, tapi Raffa harus bertahan sedikit lebih lama pada kehidupan yang biasa-biasa saja itu.

“Karena hal-hal besar menuntut sebuah proses yang tidak mudah,” katanya saat menyemangati Aan dan Ridho pasca wisuda.

Jika dibandingkan, kehidupan dengan status mahasiswa jauh lebih menyenangkan sebab mahasiswa berjalan dengan tujuan yang jelas; mencetak prestasi, berkarya, lalu tamat kuliah. Sementara kehidupan setelah wisuda itu tak menentu.

Mengalami dilema berkepanjangan, untung ada sahabat yang menguatkan. “Cepetan datang bro…” Ridho mulai berkicau, masih pagi namun chat di grup sosmed mereka sudah ramai.

Setidaknya dua tahun mereka harus menjalani kehidupan yang membuat nyali terpontang-panting, entah karena kesetiaan atau bagaimana namun Ridho menunda untuk melanjutkan studi. Ia ingin berjuang bersama kedua sahabatnya.

Di sisi lain, Aan mulai serius mengemban status baru sebagai pengusaha kecil-kecilan. Dengan senyum sumringah ia bertekad untuk memulai dari bawah melalui bantuan Emak. Aan hanya ingin membuat Emaknya bahagia.

Dan Raffa, ia pulang ke rumah kedua orangtuanya setiap akhir pekan. Di hari-hari lain ia berprofesi sebagai guru privat di sebuah lembaga bimbingan belajar. Untuk mengisi hari-harinya yang biasa saja, Raffa sering mengajak Aan dan Ridho terlibat dalam kegiatan sosial.

Mereka bersama sebuah komunitas pernah ke pulau Enggano untuk memberikan bantuan alat tulis kepada anak-anak sekolah. Pernah juga ke pelosok-pelosok desa di Bengkulu Tengah untuk berbagi ilmu pada anak-anak.

Dua tahun pasca wisuda berlangsung seperti itu, hingga mereka rasa persiapan sudah amat matang dan mereka harus mencoba menaklukkan satu per satu beasiswa hingga ada yang lolos. Sebab usia boleh bertambah, namun mimpi dalam genggaman tetap harus diperjuangkan.

Berhadapan dengan proses jatuh bangun memang cukup menyulitkan, meski begitu menyerah bukanlah pilihan. Mereka hanya harus mencoba dan mencoba lagi sampai berhasil. Dengan begitu, kelak juga akan kebal terhadap kegagalan.

***

“Bro cepat lihat pengumuman! Sudah keluar!” Ridho membuka percakapan dalam grup chat. Hari ini adalah hari yang amat istimewa, sebab penantian mereka akan menemukan jawaban. Dan…

“Alhamdulillah…”

“Alhamdulillah…”

Hari ini begitu indah. Mereka tertawa dan amat bahagia. Tuhan memberikan jawaban yang amat mereka nantikan setelah lelah dalam perjuangan.

“Ke rumahku ya bro! kita perlu mendiskusikan banyak hal,” Beritahu Ridho pada Raffa dan Aan.

Tak menunggu lama, dua sepeda motor sudah terparkir di halaman depan rumah Ridho. Raffa menyapa Aan dengan wajah yang amat bahagia. “Sehat bro?” tanyanya, sekadar untuk memastikan bahwa Aan tak pingsan setelah melihat pengumuman tadi.

“Demi apa… Britania Raya bro…” sambut Ridho ketika kedua sahabatnya datang.

Bertiga, mereka sudah melalui banyak tahap seleksi beasiswa. Raffa berhasil lolos untuk melanjutkan kuliah di salah satu universitas besar di Irlandia Utara, sementara Ridho di Inggris dan Aan di Skotlandia. Terpisah tapi masih di bawah payung yang sama. Britania Raya.

“Selamat ya anak-anak… sudah ngasih tahu orangtua kalian kan?” Ibu Ridho keluar membawa sepiring potongan kue tat dan tiga gelas jus mangga.

“Sudah Bu, Emak sama bahagianya dengan kami,” ujar Aan.

“Keluarga Raffa juga sudah diberitahu Bu, mereka bahagia sekaligus bangga,” jawab Raffa lalu menyeruput jus mangga.

“Habis kuliah S2 langsung pulang ke Indonesia ya? Apalagi Ridho ini mau Ibu suruh nikah pas selesai S2,” lanjut Ibu Ridho, sontak mereka bertiga pun tertawa. Sementara Ridho hanya tersipu malu.

“Kalian berdua juga loh… jangan salah, di jaman Ibu dulu umur 24 tahun itu sudah banyak yang punya anak dua,”

“Ibu… sudah deh bercandanya. Tadi kan ibu goreng ikan, gak gosong?”

“Ya Allah… Ibu baru ingat…”

Wanita paruh baya yang amat ramah itu langsung menuju dapur. Untung saja Ridho mengingatkan Ibunya meski ia tahu mungkin sekarang ikan goreng itu sudah mulai menghitam.

“Yaa… tahu sendiri kan bro? Ibu kalau udah ketemu kita bertiga pasti jadi rempong sampai lupa dapur,” Ridho tertawa.

Di hari berikutnya mereka perlu menyiapkan banyak hal seperti berkas-berkas kelengkapan untuk persyaratan masuk kampus. Dan proses yang akan memakan waktu adalah proses untuk mendapat Unconditional LoA (Letter of Acceptance).

“Passport kalian aman kan?” tanya Raffa, ia sendiri pun bahkan harus mengurus perpanjangan paspor sebelum berangkat nanti.

“Aman bro! tapi kita perlu perpanjang paspor. Kalian berdua juga kan? Dulu kita buat paspornya juga bareng,” Ridho mengingatkan Raffa dan Aan. Saat itu yang pertama kali melangkahkan kaki ke luar negeri adalah Raffa ketika ia mengikuti pertukaran mahasiswa ke Thailand. Disusul Ridho yang berangkat ke Korea lalu Aan yang pergi ke Singapura.

“Eh, ngomong-ngomong aku masih mikirin kata-kata Ibunya Ridho tadi,” Aan berpikir sejenak. “Sekarang umur kita 24 tahun, lalu tamat di umur 26 tahun kan?” ia mengarahkan pandangan pada kedua sahabatnya secara bergantian.

Raffa dan Ridho pun mengangguk.

“Apa masalahnya An?” selidik Raffa.

Bersambung…

No comments