Raffa mengenakan mantel tebal, salju yang memutih amatlah membuatnya kedinginan. Ia menatap lampu lalu lintas bersama orang-orang di hadapan zebra cross. Sejenak ketika lampu berubah warna, ia melangkahkan kaki.
Raffa melihat sesuatu yang membuat sepasang matanya terpaku. Berseberangan dengannya, ada sosok gadis tengah memapah seorang nenek melewati zebra cross. Dada lelaki itu bergemuruh sebab terasa seperti déjà vu. Raffa mengingat kejadian beberapa tahun silam. Dan wanita itu tersenyum ke arahnya diantara kerumunan orang.
“Aku sedang berada di masa lalu atau berada di dalam mimpi?” Raffa menepuk pipinya yang tampak memerah karena dingin. Ia juga pernah bermimpi melihat seorang gadis tersenyum ke arahnya.
Orang-orang berjalan sementara Raffa berdiri mematung. Ia menoleh melihat gadis tadi. Mengenakan jilbab putih dan mantel berbulu tebal, gadis itu juga mengenakan rok denim panjang berwarna hitam dilengkapi boots yang berwarna senada.
“Tidak mungkin Asiyah,” lirih Raffa. Refleks menyebut sebuah nama, Raffa kemudian teringat kejadian memalukan di musim gugur saat itu. Ketika Ridho memergoki perkelahiannya dengan Aan hanya karena masalah sepele.
Ketika itu, Raffa spontan berpura-pura mendapat telepon dari teman-temannya di Glasgow, hingga Raffa langsung pergi tanpa sepatah katapun meninggalkan Aan dan Ridho. Untuk pertama kalinya Raffa merasa ia adalah seorang pengecut. Bahkan hingga sekarang ia sama sekali tak berkomunikasi dengan Ridho atau pun Aan.
Ia tak marah, hanya malu menggerogoti pikirannya. Dan sekarang, Raffa merasa sangat perlu menghubungi sahabatnya. Terlebih mereka sudah berada di akhir semester. Memasuki pertengahan Desember ini mereka akan wisuda.
Sesegera mungkin Raffa ingin pergi ke London dan bertemu Ridho. Menatap kosong layar ponsel, Raffa memandangi grup chat mereka yang sudah lama hening. Ibarat rumah tua dengan sarang laba-laba.
“What a great day…” tulis Raffa di grup chat mereka bertiga.
“Kau dimana bro? Kami lagi di Irlandia Utara loh,” balas Aan diikuti Ridho. Dua lelaki itu menulis hal yang sama. Raffa tertawa, jelas ia amat bahagia sekarang.
“Salju di Belfast membuat kami menggigil,” sambung Aan.
“Kami sudah di depan kampusmu,” beritahu Ridho.
***
“Aku harus minta maaf pada mereka, aku terlalu ceroboh saat itu,” keluh Raffa saat tiba di depan kampusnya. Ia menoleh, mengedarkan pandangan mencari sosok Aan dan Ridho. Raffa tak melihat Aan, ia hanya melihat Ridho tengah bercakap-cakap dengan seorang wanita.
Mendekat, Raffa mengenali wanita itu. Ia terpaku dengan tumpukan tanda tanya di kepala.
‘Kenapa Asiyah ada disini?’ ‘Kenapa dia tampak dekat sekali dengan Ridho?’ ‘Bagaimana kabar perjodohan mereka?’
“Hai Dho, Aan dimana?” akhirnya hanya itu yang dikatakan Raffa. “Itu dia…” Ridho menunjuk Aan yang datang dengan empat gelas kopi hangat di tangannya.
Sejenak hening, Raffa kaku dan ia sedikit merasa cemburu melihat kedekatan Ridho dan Asiyah. “Aku perlu bicara dengan kalian berdua!” ujar Raffa. Di dekat mereka Asiyah hanya tersenyum lalu memasang headphone. Gadis itu memberi ruang untuk ketiga lelaki di dekatnya.
“Bro, aku benar-benar minta maaf soal yang waktu itu,” Raffa memulai pembicaraan. Hanya tawa dari Ridho yang menjawab permintaan maaf Raffa. Beberapa jenak kemudian juga meledaklah tawa Aan.
“Aku sudah cerita sama Aan, Raff. Kalian berdua sebenarnya salah paham. Asiyah dekat dengan adik perempuanku, jadi Ibu mengenalnya dengan baik. Sementara aku menganggap Asiyah tak lebih dari seorang adik. Dan kalian juga harus tahu, aku sudah punya pilihan. Ibu sudah setuju dengan pilihanku bro!”
Ridho tersenyum menyela penjelasannya pada Raffa. Ia lalu melihat Aan dan melanjutkan “Soal Sinta, tidak perlu diambil pusing An. Wanita memang sulit dipahami, kelak dia juga akan mengerti,” Ridho menepuk-nepuk bahu Aan.
Sumringah, Raffa merasa beban berat sudah diangkat dari benaknya. “Oh iya, kok bisa Asiyah ada disini?” sejak tadi Raffa sudah ingin menanyakan itu.
“Tanya sendiri dong bro!” Ridho menggoda Raffa. “Dia sudah tamat kuliah, Asiyah itu seorang travel blogger sekarang. Kebetulan trip terakhirnya disini, makanya aku ngajak Aan kesini sekaligus ke kampusmu Raff,”
Raffa mengangguk-angguk, ia mengerti sekarang. Cepat sekali waktu berlalu hingga Raffa tak sadar bahwa gadis SMA yang ia lihat menyelamatkan kucing di tengah jalan dulu, sekarang sudah tamat kuliah. Asiyah tampak berbeda, wajah oval dengan senyum manis dan penampilannya membuat gadis itu terlihat anggun.
Ridho lalu memberi kode bahwa Asiyah sudah bisa melepas headphonenya. “Kita disini membawa tanggung jawab besar. Kita memikul kegagahan Rafflesia di tanah Britania Raya,” ucap Ridho kemudian.
“Wah, bangganya bisa bertemu para senior disini,” ujar Asiyah sambil membenarkan letak kamera yang menggantung di lehernya.
“Sebentar lagi kita akan pulang…” pandangan Aan menerawang ke depan, sesekali ia menyeruput kopi untuk menghangatkan diri.
“Sudah banyak kenangan yang kita ukir disini. Dari hal yang paling memalukan hingga hal-hal terhebat,” Raffa mengenang pertengkaran mereka bertiga hingga jejak-jejak prestasi yang sudah diabadikannya.
“Ridho, ralat! Kelopak Rafflesia itu biasanya ada lima. Kalian hanya berempat, gak lengkap tanpa aku,” suara dari belakang membuat mereka menoleh. Rupanya Sinta menghampiri. Suasana pun mendadak keruh.
“Yah, kalian diam saja. Bagaimana pun kan aku pernah tinggal di Bengkulu, dan terlebih aku ingin minta maaf sama kalian bertiga. Terutama Raffa, maaf aku sangat kekanak-kanakan dan egois.”
Wajah Sinta memelas menunggu jawaban ketiga lelaki di dekatnya, melihat ke arah Asiyah ia lalu menyapa. “Asiyah… itu kau kan?” Sinta memastikan lalu mereka berdua bersalaman.
“Aku sudah mengaku kalah loh Raff, jadi maafin ya?” Sinta berbisik. Raffa lalu mengangguk diikuti Ridho dan Aan.
“Itu hanya masalah kecil, tidak perlu diperpanjang.” jawaban Raffa membuat Sinta sedikit tenang. Sinta hanya perlu belajar menerima dengan lapang dada bahwa cinta memang tak bisa dipaksa.
Dan dalam diam sebenarnya besar pengharapan Aan agar Sinta dapat melihat niatnya dengan jelas. Raffa pun begitu, meski segan ia menyapa Asiyah namun hatinya melonjak kegirangan mendapati rindunya terbuyar di tengah-tengah salju yang memutih.
Sejatinya cinta tidak pernah menunggu. Ia memperjuangkan dan itulah pengorbanan, atau mengikhlaskan dan inilah kesabaran.
Raffa memilih berjuang dengan caranya sendiri di masa depan. Sementara Aan memilih ikhlas, berbesar hati ia menerima bahwa jika memang sudah ditakdirkan, maka seberliku apapun jalannya mereka pasti akan dipertemukan.
“Aku lupa nanya An, siapa sih yang disukai Ridho?” Raffa berbisik.
Aan tak menjawab, ia justru menyampaikan lewat pesan singkat. “Tari Anastasya, temannya Asiyah. Dulu kalau kau ingat dia bersama Asiyah saat di Kepahiang. Menurut cerita Ridho, dia berkomunikasi dengan Asiyah lebih sering menanyakan keadaan Tari.”
***
Kadang, tindak-tanduk waktu tak dapat dipahami. Ia datang memberi jawaban lalu menghadirkan serangkaian misteri.
Memakai toga kebanggaan, membuat Raffa terlihat berwibawa. Ia berhasil menyelesaikan S2 bersama ribuan kisah. Tak pelak lagi ia amat bahagia. Dan di hari berikutnya ia harus ikhlas meninggalkan Belfast.
“Ridho, apa kau bisa membantuku?” ketik Raffa lewat pesan singkat untuk Ridho.
“Apa bro?” balas Ridho cepat.
“Tolong tanyakan pada Asiyah; siap gak dia kalau sepulang dari Irlandia aku datang ke rumahnya?”
“Oh My God… yakin bro? ini bukan hoax kan? Ok, segera akan kutanyakan,”
“Yakin Dho. Dari segala kekurangan dan kelebihannya, aku sudah terpikat. Semua tentang Asiyah mungkin belum sepenuhnya aku ketahui, tapi aku memutuskan untuk mengenalnya lebih dekat setelah akad,”
“Oh iya Dho, selain kita berlima ternyata Rafflesia punya keindahan lain. Mau tahu? Rafflesia itu sebenarnya singkatan dari Raffa dan Asiyah hehe…”
Skenario rancangan Tuhan pasti lebih indah, sebab sebaik-baik rencana adalah rencanaNya. Lalu impian dan cinta memang terikat sangat kuat, kadang cinta hadir dalam perjuangan meraih impian layaknya kisah Aan.
Namun cinta juga bisa menjadi bagian besar dari impian seperti pengalaman Ridho. Terlebih ada sebuah nama yang berada dalam deretan impian, layaknya Raffa menanamkan nama Asiyah sebagai impiannya.
Untuk sebuah pertemuan, memang terlalu sederhana jika disebut sebagai kebetulan. Sebab di dalamnya tersemat takdir Tuhan. Entah hadir hanya sebagai pelajaran atau untuk menetap dalam keabadian. Namun yang pasti, cinta adalah keajaiban.
Tamat
***Tunggu Episode spesial dari sudut pandang Asiyah yaa...
Terimakasih telah membaca cerbung ini.
Raffa melihat sesuatu yang membuat sepasang matanya terpaku. Berseberangan dengannya, ada sosok gadis tengah memapah seorang nenek melewati zebra cross. Dada lelaki itu bergemuruh sebab terasa seperti déjà vu. Raffa mengingat kejadian beberapa tahun silam. Dan wanita itu tersenyum ke arahnya diantara kerumunan orang.
“Aku sedang berada di masa lalu atau berada di dalam mimpi?” Raffa menepuk pipinya yang tampak memerah karena dingin. Ia juga pernah bermimpi melihat seorang gadis tersenyum ke arahnya.
Orang-orang berjalan sementara Raffa berdiri mematung. Ia menoleh melihat gadis tadi. Mengenakan jilbab putih dan mantel berbulu tebal, gadis itu juga mengenakan rok denim panjang berwarna hitam dilengkapi boots yang berwarna senada.
“Tidak mungkin Asiyah,” lirih Raffa. Refleks menyebut sebuah nama, Raffa kemudian teringat kejadian memalukan di musim gugur saat itu. Ketika Ridho memergoki perkelahiannya dengan Aan hanya karena masalah sepele.
Ketika itu, Raffa spontan berpura-pura mendapat telepon dari teman-temannya di Glasgow, hingga Raffa langsung pergi tanpa sepatah katapun meninggalkan Aan dan Ridho. Untuk pertama kalinya Raffa merasa ia adalah seorang pengecut. Bahkan hingga sekarang ia sama sekali tak berkomunikasi dengan Ridho atau pun Aan.
Ia tak marah, hanya malu menggerogoti pikirannya. Dan sekarang, Raffa merasa sangat perlu menghubungi sahabatnya. Terlebih mereka sudah berada di akhir semester. Memasuki pertengahan Desember ini mereka akan wisuda.
Sesegera mungkin Raffa ingin pergi ke London dan bertemu Ridho. Menatap kosong layar ponsel, Raffa memandangi grup chat mereka yang sudah lama hening. Ibarat rumah tua dengan sarang laba-laba.
“What a great day…” tulis Raffa di grup chat mereka bertiga.
“Kau dimana bro? Kami lagi di Irlandia Utara loh,” balas Aan diikuti Ridho. Dua lelaki itu menulis hal yang sama. Raffa tertawa, jelas ia amat bahagia sekarang.
“Salju di Belfast membuat kami menggigil,” sambung Aan.
“Kami sudah di depan kampusmu,” beritahu Ridho.
***
“Aku harus minta maaf pada mereka, aku terlalu ceroboh saat itu,” keluh Raffa saat tiba di depan kampusnya. Ia menoleh, mengedarkan pandangan mencari sosok Aan dan Ridho. Raffa tak melihat Aan, ia hanya melihat Ridho tengah bercakap-cakap dengan seorang wanita.
Mendekat, Raffa mengenali wanita itu. Ia terpaku dengan tumpukan tanda tanya di kepala.
‘Kenapa Asiyah ada disini?’ ‘Kenapa dia tampak dekat sekali dengan Ridho?’ ‘Bagaimana kabar perjodohan mereka?’
“Hai Dho, Aan dimana?” akhirnya hanya itu yang dikatakan Raffa. “Itu dia…” Ridho menunjuk Aan yang datang dengan empat gelas kopi hangat di tangannya.
Sejenak hening, Raffa kaku dan ia sedikit merasa cemburu melihat kedekatan Ridho dan Asiyah. “Aku perlu bicara dengan kalian berdua!” ujar Raffa. Di dekat mereka Asiyah hanya tersenyum lalu memasang headphone. Gadis itu memberi ruang untuk ketiga lelaki di dekatnya.
“Bro, aku benar-benar minta maaf soal yang waktu itu,” Raffa memulai pembicaraan. Hanya tawa dari Ridho yang menjawab permintaan maaf Raffa. Beberapa jenak kemudian juga meledaklah tawa Aan.
“Aku sudah cerita sama Aan, Raff. Kalian berdua sebenarnya salah paham. Asiyah dekat dengan adik perempuanku, jadi Ibu mengenalnya dengan baik. Sementara aku menganggap Asiyah tak lebih dari seorang adik. Dan kalian juga harus tahu, aku sudah punya pilihan. Ibu sudah setuju dengan pilihanku bro!”
Ridho tersenyum menyela penjelasannya pada Raffa. Ia lalu melihat Aan dan melanjutkan “Soal Sinta, tidak perlu diambil pusing An. Wanita memang sulit dipahami, kelak dia juga akan mengerti,” Ridho menepuk-nepuk bahu Aan.
Sumringah, Raffa merasa beban berat sudah diangkat dari benaknya. “Oh iya, kok bisa Asiyah ada disini?” sejak tadi Raffa sudah ingin menanyakan itu.
“Tanya sendiri dong bro!” Ridho menggoda Raffa. “Dia sudah tamat kuliah, Asiyah itu seorang travel blogger sekarang. Kebetulan trip terakhirnya disini, makanya aku ngajak Aan kesini sekaligus ke kampusmu Raff,”
Raffa mengangguk-angguk, ia mengerti sekarang. Cepat sekali waktu berlalu hingga Raffa tak sadar bahwa gadis SMA yang ia lihat menyelamatkan kucing di tengah jalan dulu, sekarang sudah tamat kuliah. Asiyah tampak berbeda, wajah oval dengan senyum manis dan penampilannya membuat gadis itu terlihat anggun.
Ridho lalu memberi kode bahwa Asiyah sudah bisa melepas headphonenya. “Kita disini membawa tanggung jawab besar. Kita memikul kegagahan Rafflesia di tanah Britania Raya,” ucap Ridho kemudian.
“Wah, bangganya bisa bertemu para senior disini,” ujar Asiyah sambil membenarkan letak kamera yang menggantung di lehernya.
“Sebentar lagi kita akan pulang…” pandangan Aan menerawang ke depan, sesekali ia menyeruput kopi untuk menghangatkan diri.
“Sudah banyak kenangan yang kita ukir disini. Dari hal yang paling memalukan hingga hal-hal terhebat,” Raffa mengenang pertengkaran mereka bertiga hingga jejak-jejak prestasi yang sudah diabadikannya.
“Ridho, ralat! Kelopak Rafflesia itu biasanya ada lima. Kalian hanya berempat, gak lengkap tanpa aku,” suara dari belakang membuat mereka menoleh. Rupanya Sinta menghampiri. Suasana pun mendadak keruh.
“Yah, kalian diam saja. Bagaimana pun kan aku pernah tinggal di Bengkulu, dan terlebih aku ingin minta maaf sama kalian bertiga. Terutama Raffa, maaf aku sangat kekanak-kanakan dan egois.”
Wajah Sinta memelas menunggu jawaban ketiga lelaki di dekatnya, melihat ke arah Asiyah ia lalu menyapa. “Asiyah… itu kau kan?” Sinta memastikan lalu mereka berdua bersalaman.
“Aku sudah mengaku kalah loh Raff, jadi maafin ya?” Sinta berbisik. Raffa lalu mengangguk diikuti Ridho dan Aan.
“Itu hanya masalah kecil, tidak perlu diperpanjang.” jawaban Raffa membuat Sinta sedikit tenang. Sinta hanya perlu belajar menerima dengan lapang dada bahwa cinta memang tak bisa dipaksa.
Dan dalam diam sebenarnya besar pengharapan Aan agar Sinta dapat melihat niatnya dengan jelas. Raffa pun begitu, meski segan ia menyapa Asiyah namun hatinya melonjak kegirangan mendapati rindunya terbuyar di tengah-tengah salju yang memutih.
Sejatinya cinta tidak pernah menunggu. Ia memperjuangkan dan itulah pengorbanan, atau mengikhlaskan dan inilah kesabaran.
Raffa memilih berjuang dengan caranya sendiri di masa depan. Sementara Aan memilih ikhlas, berbesar hati ia menerima bahwa jika memang sudah ditakdirkan, maka seberliku apapun jalannya mereka pasti akan dipertemukan.
“Aku lupa nanya An, siapa sih yang disukai Ridho?” Raffa berbisik.
Aan tak menjawab, ia justru menyampaikan lewat pesan singkat. “Tari Anastasya, temannya Asiyah. Dulu kalau kau ingat dia bersama Asiyah saat di Kepahiang. Menurut cerita Ridho, dia berkomunikasi dengan Asiyah lebih sering menanyakan keadaan Tari.”
***
Kadang, tindak-tanduk waktu tak dapat dipahami. Ia datang memberi jawaban lalu menghadirkan serangkaian misteri.
Memakai toga kebanggaan, membuat Raffa terlihat berwibawa. Ia berhasil menyelesaikan S2 bersama ribuan kisah. Tak pelak lagi ia amat bahagia. Dan di hari berikutnya ia harus ikhlas meninggalkan Belfast.
“Ridho, apa kau bisa membantuku?” ketik Raffa lewat pesan singkat untuk Ridho.
“Apa bro?” balas Ridho cepat.
“Tolong tanyakan pada Asiyah; siap gak dia kalau sepulang dari Irlandia aku datang ke rumahnya?”
“Oh My God… yakin bro? ini bukan hoax kan? Ok, segera akan kutanyakan,”
“Yakin Dho. Dari segala kekurangan dan kelebihannya, aku sudah terpikat. Semua tentang Asiyah mungkin belum sepenuhnya aku ketahui, tapi aku memutuskan untuk mengenalnya lebih dekat setelah akad,”
“Oh iya Dho, selain kita berlima ternyata Rafflesia punya keindahan lain. Mau tahu? Rafflesia itu sebenarnya singkatan dari Raffa dan Asiyah hehe…”
Skenario rancangan Tuhan pasti lebih indah, sebab sebaik-baik rencana adalah rencanaNya. Lalu impian dan cinta memang terikat sangat kuat, kadang cinta hadir dalam perjuangan meraih impian layaknya kisah Aan.
Namun cinta juga bisa menjadi bagian besar dari impian seperti pengalaman Ridho. Terlebih ada sebuah nama yang berada dalam deretan impian, layaknya Raffa menanamkan nama Asiyah sebagai impiannya.
Untuk sebuah pertemuan, memang terlalu sederhana jika disebut sebagai kebetulan. Sebab di dalamnya tersemat takdir Tuhan. Entah hadir hanya sebagai pelajaran atau untuk menetap dalam keabadian. Namun yang pasti, cinta adalah keajaiban.
Tamat
***Tunggu Episode spesial dari sudut pandang Asiyah yaa...
Terimakasih telah membaca cerbung ini.
No comments