[Cerbung Part VIII] Rafflesia Merekah di Britania Raya

Emosi Sinta jauh dari stabil, Raffa bertanya-tanya bagaimana bisa Sinta mengetahui hal itu? Wajah kaku Sinta memerah bukan karena embusan angin di musim gugur, melainkan karena amarah yang mengaduk-aduk hatinya.

“Kau tahu soal Asiyah dari siapa?” selidik Raffa.

“Oh, jadi benar? Apa sih yang gak aku tahu tentangmu Raff…” wajah cantik Sinta berubah sinis, ia lalu meninggalkan Raffa yang tampak berpikir. Lelaki itu tak ingin menduga tentang siapa yang tak bisa menjaga rahasianya? Namun, seingat Raffa… orang yang tahu cerita tentang Asiyah hanya dirinya, Aan dan Ridho.

***

Raffa menghentikan aktivitasnya yang sedari tadi membolak-balik halaman buku. Ia memeriksa jadwal di akhir pekan, akan ada trip lagi ke Glasgow bersama teman-teman. Terpikir sesuatu, barangkali ia bisa mampir ke Edinburgh dan menyambangi tempat Aan.

“Siapa sih? Aan atau Ridho?” sebelumnya ia tak pernah securiga ini pada kedua sahabatnya. Namun, Raffa masih saja penasaran siapa yang membocorkan rahasia itu pada Sinta.

Jauh di sudut hatinya, ia memang mengakui tentang kekaguman pada Asiyah. Tapi, jika itu berarti akan menyakiti Ridho maka Raffa akan menghentikan perasaan itu. Sebelum rasanya menjalar lebih jauh lagi.

“Kalau ini adalah ulah Aan, kenapa? Kenapa dia melakukan itu?” tak henti dengan praduganya, Raffa berpikir dalam-dalam.

Lalu matanya terpaku melihat daun berjatuhan. Ia baru menyadari bahwa musim gugur amatlah indah. Dedaunan menguning, sebagian lagi berwarna merah lalu perlahan jatuh dengan suka rela.

“Jatuhnya artistik sekali,” komentar Raffa. Bagaimana mungkin dengan keindahan seperti itu, dedaunan memutuskan jatuh? Telah habis masanya atau dedaunan itu hanya mengalah?

Atau…

Dedaunan itu mencoba menuntaskan rindu pada angin, namun justru dirinya yang jatuh? Apa balasan untuk rindu bisa sesakit itu? Apa jatuh adalah satu-satunya jawaban? Dan, apakah Raffa sudah jatuh di hati yang tepat?

Waktu menghadirkan misteri yang tak terlampau oleh imaji. Memberikan kejutan-kejutan kecil yang kadang membuat diri merasa kerdil. Waktu menyimpan rahasia, termasuk tentang jawaban terindah dari kisah yang diwarnai oleh cinta.

Ah cinta? Dulu Raffa juga pernah merasakannya. Degup berkepanjangan pada sosok yang tak dikenalnya. Itu adalah hal yang tak pernah ia kisahkan pada siapapun.
Tapi, dulu Raffa sempat ingin bercerita pada Aan, meski akhirnya ia urungkan.
Dulu sekali ketika Raffa memasuki tahun kedua di kampus, ia menjumpai kejadian tak terduga.

Raffa melihat seorang gadis berseragam putih abu-abu membantu seorang nenek menyebrang jalan. Keesokannya ia melihat gadis itu lagi, mendekap seekor kucing malang yang hampir terlindas mobil di badan jalan.

Itu adalah perasaan buta yang masih tak terlupa. Raffa terpikat oleh pancaran kebaikan dari seseorang yang sama sekali tak diketahuinya. Barangkali ia hanya kagum, namun debaran hatinya terlalu kuat. Dulu, itu hanyalah kisah di masa lalu.

***

Edinburgh, dikenal sebagai kota yang memiliki atmosfir unik. Berada di sana dapat merasakan budaya dan tradisi Skotland yang sesungguhnya. Edinburgh juga menjadi salah satu tempat favorit untuk menikmati ruang terbuka, karena kota ini memiliki beberapa ruang terbuka yang diklaim terbaik diantara kota-kota besar di UK.

Puas mengabadikan moment berada di Edinburgh, Raffa meminta izin pada rombongannya untuk mengunjungi teman. Ia membatalkan kunjungan ke Glasgow yang ternyata menjadi target trip kedua setelah Edinburgh.

Ia tak menghubungi Aan, biarlah kedatangannya menjadi kejutan. Bermodal map dan sesekali bertanya akhirnya Raffa menemukan tempat Aan. Ini memang pertama kali Raffa menemui Aan langsung di tempat tinggalnya.

Raffa mengetuk pintu yang berwarna hitam di hadapannya. Sayang ia tak mendapat jawaban dari dalam. Ketiga kalinya mencoba barulah tampak Aan membukakan pintu.

“Oh My God! Raffa…”

Wajah sumringah Aan menyambut kedatangan Raffa. Rupanya Aan dan teman-teman tengah mengadakan barbeque party di halaman belakang.

“Aku gak bisa lama An, cuma mau bicara empat mata sekitar sepuluh menit bisa?” ujar Raffa ketika Aan mengajaknya bergabung dengan yang lain. Mendapat persetujuan Aan, Raffa langsung bertanya tanpa basa-basi.

“Apa kau pernah cerita tentang Asiyah sama Sinta?” tanya Raffa.
Hening beberapa jenak. Tak ada jawaban, Aan hanya diam. “Sorry bro…” katanya kemudian.

Raffa berdiri, melempar pandangan keluar jendela. “Kenapa An? Kalau Sinta ngasih tahu Ridho nanti lebih rumit lagi masalahnya,” mencoba tenang meski sebenarnya gusar, Raffa hanya tak ingin hal sepele merenggangkan persahabatan.

“Kau terlalu egois Raff,” kata-kata Aan berhasil membuat Raffa mengerutkan kening.
“Selama ini kau terlalu sering mematahkan perasaan banyak perempuan,” lanjut Aan sedikit terbata-bata.

“Tapi ini Sinta Raff! Aku gak bisa melihatnya terluka tanpa berbuat apa-apa,” wajah Aan memerah, tampak sebenarnya ia menyembunyikan kesal pada Raffa.

Aan ingin menghirup udara segar, ia melangkahkan kaki meninggalkan Raffa di ruang tamu. Melepas napas beratnya, Aan berkacak pinggang dan sejenak menatap langit yang biru cerah.

“Oh man… ayolah! Ini hanya masalah perempuan,” Raffa mengikuti Aan keluar.

“HANYA katamu?” Aan berbalik dan “Bruukk…” amarah Aan membuatnya melabuhkan kepalan tinju di wajah tampan Raffa.

“Maksudmu apa?!” Raffa membalas. Aan meringis memegangi rahangnya. Satu sama. Mereka berdua tampak berdamai dengan hela napas yang semakin berat.

“Dengar ya Raff! Aku harap kau bisa menyukai Asiyah tanpa melukai Sinta,”

“Wah, sekarang aku paham! Sebenarnya kau menyukai Sinta kan?”

Aan tak menjawab. Ia justru kembali melabuhkan tinju. Dan kembali dibalas oleh Raffa. Aan dikuasai amarah dan Raffa masih tak tahu cara mengatasinya.

“Aku bosan Raff! Aku bosan terus-terusan dalam bayang kehebatanmu,” ucap Aan pelan. Ia lalu terduduk, menindih dedaunan yang berjatuhan dari sebatang pohon di dekat mereka.

Musim gugur rupanya mengantar sekeping hati pada jujur yang nyaris hancur. Serpih ingatan Aan membawanya pada masa silam ketika banyak orang mengakui kehebatan Raffa. Saat itu ia juga bangga sampai Sinta datang mendekat, nyatanya gadis itu hanya terpikat pada sahabat Aan.

Sampai disana Aan bertahan. Ia tak mempermasalahkan, sebab Raffa juga menjadi motivasi terbesarnya hingga ia menginjakkan kaki di Singapura.

“Sorry bro! kekesalanku ternyata merusak wajah kebanggaanmu,” disaat-saat seperti itu nyatanya Aan masih sempat melontarkan canda. Sebenarnya ia sama sekali tak marah. Ia hanya kesal dan butuh pelampiasan. Lalu Raffa datang di waktu yang benar-benar tepat.

“Ini gila An! Kau memukulku hanya karena Sinta?”

“HANYA Raff?” Aan meninggikan suaranya. “Bertahun-tahun perasaanku dan kau bilang HANYA?” Aan berdiri.

“Oh! Tahan bro! aku tidak bermaksud apa-apa. Tentang aku dan Sinta kau tahu sendiri An! Ok, begini…” Raffa menarik napas. “Aku sama sekali tak berniat melukai Sinta. Maaf kalau menurutmu aku benar-benar salah. Tapi aku tidak bermaksud melukai siapapun.”

“Aaarrggh! Entahlah!” Aan memukul pohon di dekatnya. “Aku cuma kesal pada diriku, aku tidak punya keberanian lebih untuk meminta Sinta berhenti mengejar sahabatku,” gerutu Aan.

“Dan kau Raff… harusnya kau bisa memperjelas perasaanmu pada Asiyah agar Sinta berhenti,”

“Itu tidak mungkin An. Kau pasti tahu aku akan mundur demi Ridho,”

Angin menyapa mereka berdua, kembali menggugurkan dedaunan hingga jatuh menimpa wajah. Hening, tampak Raffa hanya bermain dengan daun yang tadi mengenai wajahnya. Aan seperti berpikir keras, ia hampir saja melupakan sesuatu.

“Wah… hebat!!!” seseorang datang dengan tepuk tangan dan tawa bertengger di wajahnya. Dan iya, Aan benar-benar melupakan sesuatu. Ia lupa memberitahu Raffa bahwa yang tadi bersamanya di halaman belakang juga ada Ridho.

“Ini benar-benar rekor! Dua lelaki cerdas berkelahi karena perempuan!” Ridho mendekat. Tak pelak lagi mulut Raffa terkunci. Aan pun hanya terdiam. Ah, gumpalan waktu di musim gugur benar-benar menghadirkan misteri.

Degup yang dirasakan Raffa dan Aan juga pertanda, bahwa mereka siap jika Ridho ingin bergabung dan melabuhkan tinju. Lagi.

Bersambung…

No comments