Titip Salamku untuk Perempuan yang Menemuimu di Tikungan Jalan...


Aku masih tak paham dengan alasan kepergianmu yang terkesan mengada-ada. Pun aku tak dapat melakukan apa-apa untuk mencegah langkahmu meninggalkanku.

Tak ingin banyak bertanya, aku tahu bahwa sebenarnya tak ada percikan cinta yang tertinggal di matamu. Hanya aku, hanya tentangku. Dan perasaan yang masih sama seperti di awal bertemu.

Kau bilang semuanya akan baik-baik saja, ini cuma masalah waktu supaya kudapat melupakanmu dan kenangan-kenangan yang berkarat dalam ingatan.

Ucapanmu amatlah menghujam ulu hati, kau pikir move on segampang itu? Kau pikir perasaanku sebatas bercanda?

Dimana nalurimu sebagai lelaki yang pernah bilang bahwa aku adalah perempuan tercantik di matamu setelah sang Ibu.

Kau kejam.

Keputusan pergimu keterlaluan melebihi jahatnya Rangga atas Cinta. Kau pembohong, rasanya ingin kumaki dirimu ribuan kali hingga aku lupa bahwa kau pernah singgah sejenak menitip rasa.

Setelah tumbuh dan rindang, rasa itu pun kau persembahkan untuk perempuan tercantikmu yang baru. Ah buaya sekali lidahmu.

Titip salamku untuk perempuan yang berhasil menemuimu di tikungan jalan. Ceritakan padanya betapa kita bersusah payah dalam berjuang hingga mencapai titik yang sekarang.

Semoga jatuhmu kelak bukan karena kecantikan seorang perempuan, melainkan kesadaran bahwa kau benar-benar tak setia.

Biarlah... pikirku. Memang berat untuk mencoba menerima, berat ketika tersadar kau tidak lagi membersamai langkahku meniti hari.

Biarlah... aku akan melupakanmu dan bertarung dengan waktu. Kau benar-benar bodoh sebab dengan begitu mudahnya berpaling pada yang lain.

Tapi, jika aku mengetahui hal itu dan masih mencintaimu maka akulah yang benar-benar bodoh. Jadi selamat tinggal, jangan menengokku lagi meski apapun yang terjadi padamu.

Aku pasti baik-baik saja, sebab orang yang sebenarnya kehilangan adalah dirimu. Kau kehilangan orang yang dengan tulus menemani berjuang dan mencintai sepenuh hati.

Aku tahu, beranjak dari kenangan tak semudah tersenyum di depan kamera. Namun aku harus bisa. Pasti bisa, seyakin dulu ketika aku menguatkanmu di tengah badai menerpa.

Aku memang tidak baik-baik saja, sebab bagiku melupa bukanlah perkara mudah. Aku harus dengan tega menjahit rapat-rapat luka yang menganga.

Setiap detik dihujani dengan suara tawamu yang terngiang, amatlah menyakitkan sayang! Tapi, aku hanya menyakiti diri sendiri jika aku tak bergegas melupakan dari sekarang.

No comments