Kecewa! Tapi Setelah Melihatmu Bahagia, Aku Mulai Baik-baik Saja


Ada banyak hal yang akan mematahkan hati seiring beranjaknya diri menjadi dewasa. Dan aku sepenuhnya menyadari hal itu. Termasuk tentang kamu.

Kamu yang sebelumnya menghadirkan bunga-bunga sesak di dada, kamu yang dulu selalu membawa bahagia walau kadang hanya dengan mendengar namamu.

Lalu, kamu juga yang akhirnya membuat kecewa. Meluluhlantakkan rasa hingga tak tahu lagi, tak sadar diri sedang berpijak di mana.

Genggaman yang dulu erat berubah kosong dan berkarat. Pilihan yang tak berirama antara aku dan kamu melahirkan luka yang benar-benar tak biasa.

Di beberapa waktu, aku pernah dihantui bayanganmu. Caramu memegang gelas kopi, kamu yang sedang membaca, caramu berjalan yang pernah kulihat dari belakang, dan semua hal-hal kecil tentangmu, aku pernah serindu itu.

Jangankan dengan caramu menatap senja, melihatmu tersenyum dan berkedip ke arahku saja, aku masih rindu.

Aku pernah sesuka itu ketika melihatmu mengenakan kemeja putih longgar dan jeans putih.

"Ayo, kita jalan..." katamu dengan sinar mata yang bisa membuat siapapun bahagia.
"Kemana?" tanyaku berseru dengan nada kesal.

Kamu tidak tahu kan? Kesalku saat itu bukan karena aku marah, melainkan karena sosok kamu bisa dengan mudah membuatku jatuh cinta.

Dulu bukankah pernah kuungkapkan bahwa kamu nyaris terlalu sempurna untukku, tapi kamu kemudian bilang:

"Kamulah yang menyempurnakan aku."

Bagaimana bisa cintaku tak bertambah? Kamu selalu membuatku terpukau dan meleleh akan kata-kata.

Sebelum aku menyadari bahwa kamulah sumber kecewaku yang paling parah.

Kamu harus tahu, keputusanmu untuk pergi di hari itu adalah luka yang paling membuatku kecewa selama kita bersama.

Aku tak peduli dengan sepasang mata indah yang mulai memerah di hadapanku, dulu aku sangat kecewa.

Sampai ketika aku mendapati potretmu yang tengah tertawa. Dan bisa kubaca bahagia. Mataku tiba-tiba mengembun, sebab aku ingin sekali tahu alasan di balik tawamu.

Jarak terlalu jauh, kamu tak pernah lagi menyapaku. Dan aku juga tak pernah memberanikan diri. Kita sudah benar-benar menjalani pilihan di persimpangan yang meretakkan.

Tapi, jika kamu bisa sebahagia itu tanpa aku, bagaimana denganku?

Setidaknya aku mulai baik-baik saja, luka pasti ada sembuhnya. Dan aku tidak ingin merawat kecewa, kulepas namamu di pelupuk senja, sebagaimana dulu ketika aku menerima cinta yang pernah kamu suguhkan dengan cara yang indah.

"Aku yakin, kita sedang menuju ujung jalan yang sama."

Di tengah aku yang mulai baik-baik saja, pesan darimu datang dengan tiba-tiba. Lalu aku harus apa? Akhirnya kuabaikan, sebab jika menurutmu begitu, mari bertemu lagi tapi nanti.


4 comments

  1. ini fiksi atau kisah yang dialami penulis =?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu ramuan kejadian di sekitarku dengan penambahan fiksi tentunya...

      Delete
  2. Setiap pilihan ada konsekuensinya yah. Soal bahagia itu pada hati masing2. Kata mantan saya. #eh

    ReplyDelete