NKRI Juga Harus Jaga Hati

Rasisme tidak hanya pernah terjadi di Indonesia, masalah ini sudah mendarah daging, men-diaspora di setiap sudut dunia bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi, bukan berarti rasisme layak untuk dipupuk.

Nah sebelum lebih jauh, kita harus mengorek kembali definisi dari rasisme itu sendiri. Menurut Oxford English Dictionary, definisi rasisme merujuk pada pemahaman yang menganggap bahwa ras atau suku tertentu lebih superior atas ras atau suku yang lainnya. Dengan kata lain, semua tindakan atau pemikiran yang sifatnya melecehkan ras, etnis, atau suku lain bisa digolongkan sebagai tindakan rasis.

Beberapa waktu lalu kerusuhan di Papua adalah salah satu masalah yang didasari rasisme (meski ini bukan satu-satunya penyebab kerusuhan di Papua). Menurut Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib, aksi massa adalah akumulasi kemarahan masyarakat Papua terhadap banyak persoalan. Tindakan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya hanya salah satu pemicunya.

Untuk merecall ingatan pada konflik yang memanas di Papua Agustus lalu, saya akan menceritakan sekilas kronologinya.

Melansir berbagai sumber, begini kronologinya:

Pada Jumat (16/8/2019) secara tiba-tiba sekitar 15 anggota yang berasal dari TNI mendatangi asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

Sabtu malam, pukul 21.30 WIB tanpa permisi mereka menggedor gerbang asrama. Hal itu membuat kaget 15 mahasiswa.

Satu diantaranya adalah Dorlince Iyowau. Menurutnya sekitar pukul 15.20 WIB TNI mendobrak pintu disertai ujaran rasis dan kebencian.

Sikap arogan TNI tersebut, menurut Dorli, ditenggarai oleh bendera merah putih milik pemerintah kota Surabaya yang terpasang di depan asrama mereka, tiba-tiba sudah berada di dalam saluran air.

Sementara Dorli mengaku, ia dan kawan-kawannya tak tahu soal hal itu.

"Karena kami tidak tahu soal itu [bendera merah putih] di dalam got. Kami minta bernegosiasi. Tapi TNI menolak," ujarnya.

"Dalam dua hari pemasangan [bendera itu] masih baik-baik saja. Munculnya permasalahan itu pada 16 Agustus kemarin tiba-tiba ada di got."

Setelah TNI tiba dan menggedor gerbang asrama mahasiswa Papua, menurut Dorli, datang lagi secara bertahap pihak Satpol PP dan organisasi masyarakat.

Dalam kondisi terkepung, Dorli mengaku harus menahan lapar, begitu juga dengan belasan kawan-kawan lainnya. Hingga akhirnya datanglah 27 mahasiswa Papua lainnya, yang hendak membawakan makanan untuk mereka pada Sabtu siang tadi, sekitar pukul 12.00 WIB.

Dorli dan 41 mahasiswa Papua lainnya bertahan hingga pukul 15.00 WIB, sebelum akhirnya mendapat serangan gas air mata dan mendekam di Mapolrestabes Surabaya.

sumber gambar: jakartaglobe.id
Perlakuan rasisme yang dialami oleh mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya tidak segera mendapat respons dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Jawa Timur.

Akhirnya pada Senin (19/8/2019) pagi situasi mencekam menyelimuti Manokwari. Sejumlah jalan protokol diblokir mahasiswa dan masyarakat.

Mereka protes karena tak terima dengan rasisme dan persekusi terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang belajar di Jawa Timur.

Wakil Gubernur Papua Barat Muhammad Lakotani menyebut, massa sempat membakar Gedung DPRD. Mereka juga merusak sejumlah fasilitas dan membuat lalu lintas di Manokwari jadi semrawut.

“Massa cenderung beringas, sehingga kami tak bisa mendekat, Gedung DPRD provinsi sudah dibakar,” kata Lakotani dalam program Breaking News KompasTV, Senin pagi.

Selain di Manokwari, protes juga dilakukan ratusan orang -mungkin ribuan orang- turun ke jalan di Jayapura, Papua.

Efek domino aksi massa yang terjadi di Manokwari, Papua Barat juga menjalar ke Kota Sorong. Bandara Domine Eduard Osok menjadi sasaran massa, mereka melempari fasilitas yang ada di bandara tersebut, Senin (19/8/2019).

Menurut Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan bahkan ada beberapa kantor yang turut jadi sasaran aksi massa.

Singkatnya, begitulah awal kerusuhan beberapa waktu lalu itu yang bahkan memicu pemblokiran internet wilayah Papua dan Papua Barat.

Untuk diketahui, pemblokiran internet ini akan dibuka secara bertahap mulai 5 September 2019.

Ketika mengetahui permasalahan rasis ini, saya pribadi merasa sedih. Kasihan NKRI. Betapa tidak, bukankah kita sadar bahwa di Negara tercinta ini ada begiiiittuuu banyak perbedaan, namun kita disatukan dalam wadah bernama Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia.

NKRI Harga Mati! hidup di dalam sanubari setiap penduduk Bumi Pertiwi. Oleh karena itu, Negara ini juga harus menjaga hati. Dimana letak hati NKRI? Ya, hati kita adalah hati NKRI.

Jadi, kita harus pandai menjaga hati, menjaga perasaan orang lain, sesama penduduk Indonesia, sesama manusia bahkan terhadap segala sesuatu yang ada di negeri ini.

Jika kita semua baik, maka Negara ini akan menjadi baik. Bukankah sikap saling menghargai sudah diajarkan sejak kecil? Lantas, egoisme tentang superior itu perlulah ditekan.

Dalam kasus ini, menurutku NKRI memang harus jaga hati. Aku, kamu, dan kita semua harus menjaga hati. Berhentilah saling melukai, saling menghakimi, dan saling menyakiti. Kita semua adalah saudara dalam balutan Merah-Putih.

Junjung tinggi sila ketiga Pancasila dan mari -untuk selalu- terhadap sesama kita harus saling menghargai.

Mari kita rawat negeri ini dengan merawat hubungan kita pada sesama rakyat Indonesia. Mau kulit hitam atau kulit putih, dari Sabang atau Merauke, beragam budaya, dan lain sebagainya, kita adalah hati NKRI dan kita jugalah denyut nadi Bumi Pertiwi.

Hidup NKRI!!!
Hidup Rakyat Indonesia!!!

2 comments

  1. Mudah2an kejadian seperti ini tidak lagi terulang, mmg shrusnya kt saling menghargai dan tdk rasis, NKRI sdh memberikan kt bumi yg nyaman dihuni lg kaya, sdh semestinya merawat dgn baik

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin, semoga tidak terjadi lagi dan redam segala masalah rasisme di negeri ini...

      Delete