Cara Muslimah Memperjuangkan Cinta

Memperjuangkan Cinta dengan Cara yang Disukai Allah


"Cinta bak perpaduan sempurna dari semua rasa. Menghadirkan bahagia yang hinggap di setiap wajah cerah manusia. Mengundang cerita dari yang membuat tertawa hingga menyesakkan dada. Begitulah, setiap insan pasti pernah jatuh cinta atau sekadar merasa jatuh cinta. Dan cinta itu tidak seperti roller coaster yang memacu debar tetapi hanya sebentar, melainkan cinta selalu mendegup jantung di dada."

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cinta diartikan sebagai kasih sayang atau perasaan suka sekali terhadap sesuatu atau seseorang. Namun, definisi cinta terkadang bisa saja berubah menyesuaikan pada orang yang memilikinya.

Seseorang bisa saja mengartikan cinta sebagai penantian, luruh dalam tunggu membersamai sang waktu di persimpangan yang membuatnya harus tetap menggenggam atau mengikhlaskan.

Cinta jika dipandang dari aspek kesehatan memiliki banyak manfaat, dari berbagai sumber menyebutkan bahwa dengan jatuh cinta dapat menurunkan stres, sebab tubuh memproduksi hormon oksitosin dan vasopressin lebih banyak. Hormon-hormon tersebut membuat seseorang merasa lebih bahagia, sehingga produksi hormon kortisol yang menyebabkan stres lebih sedikit.

Selain itu, jatuh cinta dapat meningkatkan kesehatan jantung. Hal ini berkaitan dengan respons stres yang menurun, sehingga tekanan darah dan frekuensi nadi juga akan lebih stabil.

Dan jatuh cinta juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Seseorang merasa lebih semangat, nafsu makan meningkat dan tetap dalam kondisi sehat menjalani hari-hari.

Cinta atau perasaan kasih sayang tak dapat dielakkan keterlibatannya dalam kehidupan manusia. Jauh sebelum manusia menyadari tentang manfaat jatuh cinta dalam kesehatan, Alquran cukup banyak menyebutkannya, satu di antaranya adalah:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenang dan tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Jelas bahwa Islam memandang cinta tidak main-main. Selain terdapat dalam ayat-ayat Alquran, perkara cinta juga disebutkan dalam hadis:

"Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
1. Pemimpin yang adil
2. Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ibadah kepada Rabbnya
3. Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid
4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga berpisah kecuali karena Allah
5. Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’
6. Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya
7. Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Lalu, bagaimana jika perasaan cinta itu melanda seorang muslimah? Jalan seperti apa yang harus ditempuh untuk memperjuangkan cinta yang mengaduk-aduk hati dan perasaan itu?


Cinta adalah perasaan yang sakral dan harus diniatkan karena Allah. Jangan sampai perasaan cinta yang melanda menjadi belenggu nafsu.

Agar tidak dibelenggu nafsu, seorang muslimah hendaklah menjaga hati dan pandangan. Dengan begitu, maka dapat terhindar dari perbuatan zina; baik itu zina mata karena memandang yang belum halal baginya, zina pikiran sebab selalu memikirkan dia hingga berbuntut pada khayalan, dan zina hati.

Sampai pada tahap ini, seorang muslimah harus terus berusaha memantaskan diri, menjadi sebaik-baik muslimah dan hamba yang patuh pada perintah-Nya.

Kemudian, jika nyatanya perasaan cinta menumbuhkan rasa ingin memiliki maka terbentanglah dua jalan yang menjadi pilihan, yakni berkaca dari dua kisah cinta; Ummul Mukminin Bunda Khadijah al-Kubra dengan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam dan kisah cinta Fatimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib.

Muslimah diperbolehkan menawarkan diri secara langsung ataupun melalui orang lain yang amanah layaknya kisah Ummul Mukminin Bunda Khadijah al-Kubra. Dikisahkan bahwa Bunda Khadijah mengirim perantara untuk menyampaikan hajatnya pada Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam.

Khadijah radhiyallahu 'anha yakin akan keindahan akhlak Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi Wasallam sehingga hal tersebut menumbuhkan keberanian dan keteguhannya. Hingga pada akhirnya Nabi pun menyetujui, dan dengan didampingi oleh pamannya, Abu Thalib, datang untuk melamar dan meminta persetujuan dari keluarga Khadijah. Keduanya pun menjadi suami istri yang kisah cintanya tetap hidup, dikenang sepanjang masa.

Jika hendak maju lebih dulu, harus dengan catatan bahwa lelaki tersebut baik akhlaknya, tidak pula terikat pernikahan hingga berujung merusak rumah tangga orang lain, lalu hendaklah melakukan salat istikharah guna memohon petunjuk dari Allah.

Sampaikan hajat pada lelaki tanpa mengurangi harga diri dan kehormatan sebagai muslimah, yakni tetap dengan cara yang sopan, lemah lembut, dan tanpa paksaan. Jika lelaki tersebut adalah pasangan terbaik menurut Allah, tentu atas izin-Nya akan didekatkan. Tetapi bila bukan lelaki tersebut yang terbaik menurut Allah, maka percayalah bahwa skenario-Nya jauh lebih indah.

“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Kemudian, ada pula kisah cinta yang amat indah yakni kisah Fatimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib. Wujud cinta dalam diam yang berakhir penuh keindahan atas izin Allah.

Dikisahkan banyak yang hendak melamar Fatimah termasuk para sahabat Rasulullah. Namun mereka ditolak, Ali pun merasa gembira sebab wanita yang dicintainya belum jadi menikah. Dengan berbagai pertimbangan, Ali masih ragu untuk melamar Fatimah hingga di suatu waktu dia mendatangi Rasulullah dan disambut dengan sangat baik.

Berkaca dari dua kisah cinta tersebut, dapat dipahami bahwa jodoh telah ditakdirkan, tertulis dalam Lauhul Mahfudz. Dan takdir ini sudah sepatutnya dijemput dengan cara yang baik, dengan cara yang disukai Allah.

"Aku pernah jatuh cinta, meski selalu berujung temu tanpa sapa. Aku pernah mencintai lalu kemudian menutup hati. Ia adalah milik Tuhan, maka dalam doa namanya kutenggelamkan dalam-dalam. Aku diam. Begini caraku mencintai. Tak seorang pun tahu siapa atau di mana keberadaannya. Cukup menjadi rahasia antara aku dan Tuhanku.

Dan entah siapa dirimu yang berada di masa depan, yang jelas aku sudah berangkat dari segala pengharapan. Kamu, entah siapa dirimu? Siapa namamu? Di mana keberadaanmu, aku sungguh tak tahu. Namun... siapapun kamu, aku mencintaimu."


2 comments