"... dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku." (QS. Maryam: 4)
Pernah kecewa ngga? Pernah dong yaa, sering malah. Banyak sekali penyebabnya, bisa karena harapan yang tidak tercapai, batalnya sebuah janji, bahkan orang telat balas chat aja mungkin kita pernah kecewa. Banyak sekali yang menyebabkan kita kecewa.
Hal-hal yang sudah sedemikian rupa kita inginkan tapi tak terwujud seperti yang kita harapkan. Dan ujung-ujungnya kecewa lagi.
Sebenarnya, segala hal yang kita sandarkan kepada selain Allah memang akan berakhir kecewa. Apalagi kalau berharap penuh sama manusia, sering kecewa tentunya.
Perasaan kecewa ini hadir karena adanya hal yang tidak harmonis dan tidak sempurna. Bila berharap pada makhluk-Nya, kemungkinan kecewanya bisa lebih 50%.
Dan sebuah pengharapan pastilah berharap yang sempurna. Suatu target yang telah dirumuskan, pastilah ingin pencapaian yang sempurna. Namun, terkadang kita lupa bahwasanya kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Oleh karena kecewa muncul disebabkan ketidaksempurnaan, mungkinkah kita kecewa jika menyandarkan semuanya pada Yang Maha Sempurna?
Mungkin kita harus mengingat lagi kisah ini, ketika Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berharap kiblat umat Islam dipindahkan dari Al-Aqsha. Seakan melihat Ka'bah adalah sesuatu yang ideal untuk dijadikan kiblat.
Harapan demi harapan tanpa beliau beritahukan kepada siapapun, tanpa bermunajat kepada-Nya untuk memindahkan kiblat. Namun Tuhan Maha Mengetahui, Tuhan Maha Memahami. Melihat hamba-Nya yang paling taat selalu menengadahkan kepalanya ke langit sebelum salat di tanah haram.
Seolah berharap turunnya wahyu untuk mengabulkan harapannya akan pemindahan kiblat. Maka turunlah wahyu yang mendeklarasikan pemindahan kiblat dari Al-Aqsha yang bermil-mil jaraknya dari tanah yang dipijak oleh Rasulullah ketika itu.
Kiblat berpindah, peta persaingan pun semakin panas. Orang-orang Yahudi dan Nasrani semakin tidak terima dengan kenyataan ini. Ternyata umat Islam sudah memiliki kiblat sendiri. Harapan Rasulullah pun terpenuhi, tanpa terkecewakan.
Pernah kecewa ngga? Pernah dong yaa, sering malah. Banyak sekali penyebabnya, bisa karena harapan yang tidak tercapai, batalnya sebuah janji, bahkan orang telat balas chat aja mungkin kita pernah kecewa. Banyak sekali yang menyebabkan kita kecewa.
Hal-hal yang sudah sedemikian rupa kita inginkan tapi tak terwujud seperti yang kita harapkan. Dan ujung-ujungnya kecewa lagi.
Sebenarnya, segala hal yang kita sandarkan kepada selain Allah memang akan berakhir kecewa. Apalagi kalau berharap penuh sama manusia, sering kecewa tentunya.
Perasaan kecewa ini hadir karena adanya hal yang tidak harmonis dan tidak sempurna. Bila berharap pada makhluk-Nya, kemungkinan kecewanya bisa lebih 50%.
Dan sebuah pengharapan pastilah berharap yang sempurna. Suatu target yang telah dirumuskan, pastilah ingin pencapaian yang sempurna. Namun, terkadang kita lupa bahwasanya kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Oleh karena kecewa muncul disebabkan ketidaksempurnaan, mungkinkah kita kecewa jika menyandarkan semuanya pada Yang Maha Sempurna?
Mungkin kita harus mengingat lagi kisah ini, ketika Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berharap kiblat umat Islam dipindahkan dari Al-Aqsha. Seakan melihat Ka'bah adalah sesuatu yang ideal untuk dijadikan kiblat.
Harapan demi harapan tanpa beliau beritahukan kepada siapapun, tanpa bermunajat kepada-Nya untuk memindahkan kiblat. Namun Tuhan Maha Mengetahui, Tuhan Maha Memahami. Melihat hamba-Nya yang paling taat selalu menengadahkan kepalanya ke langit sebelum salat di tanah haram.
Seolah berharap turunnya wahyu untuk mengabulkan harapannya akan pemindahan kiblat. Maka turunlah wahyu yang mendeklarasikan pemindahan kiblat dari Al-Aqsha yang bermil-mil jaraknya dari tanah yang dipijak oleh Rasulullah ketika itu.
Kiblat berpindah, peta persaingan pun semakin panas. Orang-orang Yahudi dan Nasrani semakin tidak terima dengan kenyataan ini. Ternyata umat Islam sudah memiliki kiblat sendiri. Harapan Rasulullah pun terpenuhi, tanpa terkecewakan.
Jauh beberapa waktu sebelum zaman Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, hiduplah seorang Nabi yang di usia tuanya belum juga mempunyai keturunan. Padahal anak adalah investasi paling berharga dalam dakwah.
Kelak anaklah yang akan melanjutkan tongkat estafet dakwah yang telah diemban oleh da'i. Sang Nabi sudah sangat renta, tenaganya sudah banyak berkurang, mulai melemah, dan rambutnya pun sudah memutih. Sayangnya sang istri dinyatakan mandul.
Berdoalah Zakariya kepada Tuhan dengan suara lirih. Meminta rahmat dan karunia-Nya, berupa buah hati yang sangat dinanti. Tidaklah Zakariya 'alaihissalam seorang yang tidak tahu diri, meminta anak di usia tua dengan kondisi istri yang belum bisa memiliki anak.
Zakariya adalah orang yang sangat tawakal, menyerahkan segalanya kepada Allah azza wa jalla. Sebab, ia sangat tahu, Tuhannya adalah Yang Maha Mengabulkan doa. Tak pernah Zakariya merasa kecewa ketika meminta segala kebaikan dari Tuhan.
Maka benar saja, Allah mengabulkan doa Nabi Zakariya. Dan Yahya pun terlahir ke dunia. Melanjutkan tongkat estafet kenabian, meneruskan keberlangsungan dakwah Islamiyah ke dunia. Sehingga bisa terus dilanjutkan oleh Isa 'alaihissalam, kemudian al-Musthafa Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Harapan Zakariya terpenuhi, tanpa terkecewakan.
Maka adakah yang lebih pantas dijadikan sandaran, bila hanya Dia yang paling memahami kita para hamba-Nya? Adakah yang lebih pantas dipuji dan dipuja, jika hanya Dia yang memiliki alhamdu, segala pujian semesta alam?
Adakah yang lebih pantas ditambatkan cinta, jikalau hanya Dia yang memiliki cinta tanpa tapi dan tanpa nanti, tanpa memandang beriman atau tidak? Adakah yang jauh lebih pantas digantungkan harapan, kalau hanya Allah yang tidak pernah mengecewakan hamba-Nya?
Tiada yang tidak mungkin bagi-Nya. Tiada yang pernah kecewa jika menyerahkan segala pada-Nya. Namun, adakah kita pernah berpikir bahwa Dia selalu ada untuk kita tanpa harus kita meminta dan mengemis?
Renungkanlah...
Sumber: Pelajaran dari Buku Kehidupan karya Zaky Ahmad Rivai
Kelak anaklah yang akan melanjutkan tongkat estafet dakwah yang telah diemban oleh da'i. Sang Nabi sudah sangat renta, tenaganya sudah banyak berkurang, mulai melemah, dan rambutnya pun sudah memutih. Sayangnya sang istri dinyatakan mandul.
Berdoalah Zakariya kepada Tuhan dengan suara lirih. Meminta rahmat dan karunia-Nya, berupa buah hati yang sangat dinanti. Tidaklah Zakariya 'alaihissalam seorang yang tidak tahu diri, meminta anak di usia tua dengan kondisi istri yang belum bisa memiliki anak.
Zakariya adalah orang yang sangat tawakal, menyerahkan segalanya kepada Allah azza wa jalla. Sebab, ia sangat tahu, Tuhannya adalah Yang Maha Mengabulkan doa. Tak pernah Zakariya merasa kecewa ketika meminta segala kebaikan dari Tuhan.
Maka benar saja, Allah mengabulkan doa Nabi Zakariya. Dan Yahya pun terlahir ke dunia. Melanjutkan tongkat estafet kenabian, meneruskan keberlangsungan dakwah Islamiyah ke dunia. Sehingga bisa terus dilanjutkan oleh Isa 'alaihissalam, kemudian al-Musthafa Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Harapan Zakariya terpenuhi, tanpa terkecewakan.
Maka adakah yang lebih pantas dijadikan sandaran, bila hanya Dia yang paling memahami kita para hamba-Nya? Adakah yang lebih pantas dipuji dan dipuja, jika hanya Dia yang memiliki alhamdu, segala pujian semesta alam?
Adakah yang lebih pantas ditambatkan cinta, jikalau hanya Dia yang memiliki cinta tanpa tapi dan tanpa nanti, tanpa memandang beriman atau tidak? Adakah yang jauh lebih pantas digantungkan harapan, kalau hanya Allah yang tidak pernah mengecewakan hamba-Nya?
Tiada yang tidak mungkin bagi-Nya. Tiada yang pernah kecewa jika menyerahkan segala pada-Nya. Namun, adakah kita pernah berpikir bahwa Dia selalu ada untuk kita tanpa harus kita meminta dan mengemis?
Renungkanlah...
Sumber: Pelajaran dari Buku Kehidupan karya Zaky Ahmad Rivai
No comments