![]() |
sumber gambar: dailysabah.com |
Sebenarnya saya sudah sangat lama ingin menulis tentang ini, barangkali sudah sejak empat tahun lalu bahkan sebelum blog ini ada. Namun saya merasa masih kekurangan referensi sampai hari ini teringat lagi bahwa saya punya buku karangan Zaky Ahmad Rivai yang berjudul "Pelajaran dari Buku Kehidupan".
Di dalam buku terbitan Indonesia Quran Foundation Al-Haq Publishing tersebut memuat pembahasan tentang perintah untuk membaca dan menulis. Dan seperti yang kita ketahui, dua hal itu memang tertuang dalam buku kehidupan yakni Al-Quran.
Secara garis besar, "Pelajaran dari Buku Kehidupan" yang terbit tahun 2016 ini membahas tentang ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran. Namun pada tulisan ini hanya menerangkan bab tentang membaca. Dan berikut ulasan seperti yang terdapat dalam buku karya Zaky.
"Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Maha Menciptakan." (QS. Al-'Alaq: 1)
Kemenangan Islam banyak diawali dengan perang. Perluasan wilayah tak dapat terelakkan pula kebanyakan terbantu oleh pedang. Lagi-lagi, penguasaan Islam atas berjuta-juta petak tanah di muka bumi banyak disatukan oleh pedang.
Namun, satu hal yang acapkali luput dari perhatian khalayak umum, bahwasanya kejayaan Islam senantiasa diawali dengan satu budaya yang sejatinya memang telah dititahkan semenjak ditahbiskannya Sang Terpuji Muhammad shallalahu 'alaihi wasallam sebagai utusan Allah yang terakhir, yakni membaca.
Baca tulisan terkait:
Pelajaran dari Buku Kehidupan: Menulis Adalah Titah Tuhanmu
Sayangnya, hal ini sering dilupakan oleh umat Islam pada masa sekarang. Padahal ini diakui oleh para sejarawan Barat, bahkan mereka yang membenci Islam sekalipun.
Sejak peradaban Islam menguasai teknologi pembuatan kertas, aktivitas penulisan buku di akhir abad ke-8 M menjadi marak. Jumlah buku yang terbit di era Kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu sungguh mencengangkan.
Pada zaman tersebut minat baca sangat tinggi, sehingga setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku. Nutrisi ilmu bagi otak sangat dipentingkan di samping memenuhi kebutuhan sandang, papan, dan pangan.
Berabad-abad sebelum industri buku marak di Barat, peradaban Islam sudah lebih dahulu melakukannya. Tidak ada buku bercap best seller pada saat itu, namun semua tulisan dapat dibukukan, dan semua buku pastilah dihargai.
Periode abad ke-9 M, setiap kota-kota negeri Islam mempunyai perpustakaan. Ketika itu dikenal sebagai daarul 'ilm. Walau sejatinya pernah ditemukan bangunan berkonsep seperti perpustakaan bertarikh 1900 SM, namun konsep perpustakaan modern dunia Islam lah yang memperkenalkannya.
Daarul 'ilm pun menjadi tempat pertemuan dan diskusi. Perpustakaan di era kejayaan Islam juga menjadi sarana pertukaran ilmu antara guru dan muridnya. Lebih daripada itu, faktanya perpustakaan Islam di zaman kekhalifahan telah memperkenalkan konsep katalog.
Pada masa itu, buku-buku yang disimpan di perpustakaan telah diatur dan ditempatkan ke dalam genre dan kategori. Konsep itu hingga kini masih digunakan di perpustakaan modern. Seharusnya umat Islam sekarang tidak boleh inferior. Sebab sejatinya ilmu-ilmu yang sekarang berkembang, sudah dibangun fondasinya oleh umat Islam pada masa lampau, dengan menerbitkan banyak buku.
Telah tercatat oleh sejarah, jumlah perpustakaan umum yang dimiliki penguasa Kekhalifahan Umayyah II di Andalusia, mencapai angka 70 unit! Selain itu, para ilmuwan dan ulama di kota itu juga memiliki perpustakaan pribadi yang jumlahnya tak terhitung.
Tak heran jika Cordoba, ibu kota pemerintahan Dinasti Umayyah di Andalusia, menjadi pusat ilmu pengetahuan yang sangat pesat. Pada era kekhalifahan Islam, perpustakaan umum yang tersebar di kota-kota besar memiliki jaringan yang kuat. Saking banyaknya jumlah buku yang disimpan di perpustakaan Muslim, saat Hulagu Khan memimpin pasukan Mongol menyerang Baghdad, sungai-sungai di kota Baghdad berwarna hitam pekat yang berasal dari tinta buku yang dibuang ke dalamnya.
Tak hanya itu, bahkan orang-orang pada saat itu bisa menyeberangi sungai tanpa terendam bagian tubuhnya, dikarenakan buku-buku yang dibuang tertumpuk sangat banyak di dalam sungai.
Perpustakaan Darul Hikmah Baghdad memiliki 100 ribu jilid buku dan 600 ribu buah manuskrip era Harun Ar Rasyid (149-193 H). Sementara di dunia Barat hanya segelintir buku. Sebut saja Katedral Kenshington yang hanya menyimpan 356 koleksi buku, perpustakaan di Hamburg hanya menyimpan 96 buku, sedangkan perpustakaan pusat Prancis pada masa Raja Sharl V (8 H) baru mampu mengumpulkan 900 jilid buku.
![]() |
sumber gambar: arah.com |
Sebut saja Ibnu Sina (ahli kedokteran), Ibnu Khaldun (sosiologi), Ibnu Haytsam (penemu optik), dan ilmuwan-ilmuwan lain yang karyanya menjadi rujukan para ilmuwan Barat dari dulu sampai sekarang. Inilah wajah kejayaan Islam masa lampau. Di mana ilmu sangat dijunjung tinggi, dan membaca adalah budaya mereka.
Namun mengapa sekarang, kita melihat kemunduran umat Islam yang begitu jauh tertinggal dari umat lainnya? Salah satu faktornya adalah mereka secara perlahan meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup.
Benar saja, secara gamblang Allah telah menitahkan pada Rasul dan para umatnya, agar membudayakan membaca. Wahyu yang pertama turun adalah perintah membaca. Artinya membaca adalah hal pertama yang harus dilakukan sebelum kita melakukan sesuatu.
Selain membaca apa yang tersurat, harus pula membaca apa yang tersirat. Sebelum berperang, kita diharuskan melakukan ma'rifatul maydan (pengenalan medan) agar tak salah melangkah dalam aktivitas ke depan. Pengenalan medan juga harus dilakukan untuk kelancaran dakwah Islamiyah.
Terjadi penyusutan minat baca yang sangat besar pada umat Islam dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Ditambah perhatian yang kurang dari umat Islam pada umumnya dalam hal ini.
Mereka yang sadar akan terjadinya hal ini tidak sebanyak mereka yang terlena dengan hal-hal menjanjikan kemudahan dari orang-orang Barat.
Sayyid Quthb pun kurang lebih pernah menyatakan bahwa yang diinginkan kaum pembenci Islam bukanlah agar umat Islam murtad semuanya. Namun yang mereka inginkan adalah bagaimana umat Islam menjauh dari hal-hal islami.
Budaya, adab, dan keilmuannya jauh dari nuansa Islam. Inilah hal yang membuat umat Islam jatuh dan terinjak-injak oleh umat lain. Terbukti, setelah hampir seabad keruntuhan supremasi kedaulatan Islam di Turki Utsmani, umat Islam belum dapat keluar dari keterpurukannya.
Dr. Raghib As-Sirjani mencatat bahwa angka buta huruf yang terjadi di negeri muslim mencapai 37 persen. Ini baru jumlah yang tercatat, menurutnya angka riil-nya bisa di atas itu.
Sementara Amir Al-Madari menyampaikan hasil riset tingkat konsumsi buku rata-rata per orang per tahun di dunia. Disebutkan, orang jepang membaca 40 buku per tahun, orang Eropa 10 buku dalam setahun, sementara bangsa Arab hanya 1/10 buku setahun.
Baca tulisan terkait:
Pelajaran dari Buku Kehidupan: Menulis Adalah Titah Tuhanmu
Jika diasumsikan bahwa jumlah buku adalah 200 halaman, maka bangsa Arab hanya membaca 20 halaman setiap tahun. Mirisnya, khalayak global memandang Arab adalah Islam, dan Islam adalah Arab.
Dengan melihat kenyataan ini, apakah kita umat Islam hanya diam saja? Apakah mungkin peradaban Islam dapat berjaya kembali sebagaimana dahulu, apabila umat Islam hanya berpangku tangan saja menghadapi era globalisasi?
Tidaklah mungkin peradaban Islam akan kembali maju, apabila para mahasiswa muslim enggan membaca buku. Hanya terlenakan oleh novel-novel bertajuk romansa yang berujung kegalauan bagi para pembacanya.
Atau justru membudayakan foto copy ketimbang membelinya dengan mengumpulkan uang jajan sembari mengalahkan hawa nafsunya untuk sekadar memanjakan perut. Al-Quran memerintahkan kita untuk membaca. Maka kembalilah kepada Al-Quran, dan bacalah!
No comments