Bismillah...
Sebenarnya tentang membaca dan menulis sudah sangat lama ingin saya tulis, barangkali sudah sejak empat tahun lalu bahkan sebelum blog ini ada. Namun saya merasa masih kekurangan referensi sampai hari ini teringat lagi bahwa saya punya buku karangan Zaky Ahmad Rivai yang berjudul "Pelajaran dari Buku Kehidupan".
Di dalam buku terbitan Indonesia Quran Foundation Al-Haq Publishing tersebut memuat pembahasan tentang perintah untuk membaca dan menulis. Dan seperti yang kita ketahui, dua hal itu memang tertuang dalam buku kehidupan yakni Al-Quran.
Di dalam buku terbitan Indonesia Quran Foundation Al-Haq Publishing tersebut memuat pembahasan tentang perintah untuk membaca dan menulis. Dan seperti yang kita ketahui, dua hal itu memang tertuang dalam buku kehidupan yakni Al-Quran.
Pelajaran dari Buku Kehidupan: Membaca Adalah Titah Tuhanmu
Secara garis besar, "Pelajaran dari Buku Kehidupan" yang terbit tahun 2016 ini membahas tentang ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran. Namun pada tulisan ini hanya menerangkan bab tentang menulis. Dan berikut ulasan seperti yang terdapat dalam buku karya Zaky.
"Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis," (QS. Al-Qalam: 1)
Dalam tulisan Eko Novianto Nugroho dalam salah satu karyanya, "Membaca adalah menulis, dan menulis adalah membaca." Begitulah kurang lebih ungkapan yang memunculkan tanda tanya di benak para pembacanya.
Benar saja, membaca adalah menuliskan ke dalam pikiran kita apa yang telah kita baca. Menulis adalah membacakan kembali apa yang pernah kita baca. Sejatinya kedua hal tersebut -membaca dan menulis- adalah aktivitas yang tidak dapat dipisahkan.
Membaca itu ibarat makan, dan menulis adalah BAB-nya. Mungkin terdengar kurang sopan, namun bila ditelaah lagi memang seperti itulah adanya.
Tulisan-tulisan kita tergantung bacaan kita. Bacaan yang berkualitas akan memberi info yang berkualitas pada kita. Otomatis hal ini akan mempengaruhi tulisan-tulisan kita agar menjadi berkualitas. Pun hampir mustahil bagi seseorang yang jarang membaca atau sedikit bacaannya bisa membuat tulisan apalagi menjadi sebuah buku. Karena tulisan tergantung bacaan.
Apabila pada zaman dahulu para ulama tidak menulis, dan hanya menyimpan sendiri ilmu-ilmu mereka, maka yang terjadi adalah umat yang terkungkung dalam kegelapan ilmu.
Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak memiliki 'sekretaris', maka yang terjadi kemudian adalah kita tidak dapat menikmati tilawah Al-Quran, karena tidak ada Al-Quran yang dibukukan.
Atas inisiatifnya, Zaid bin Tsabit pun menuliskan Al-Quran, juga para sahabat lainnya. Kelak setelah Rasulullah wafat, tulisan dari Zaid inilah yang menjadi referensi utama kodifikasi Al-Quran. Sehingga pada masa Khalifah Utsman bin Affan, dibukukanlah Al-Quran secara resmi. Sehingga kita mengenalnya sekarang dengan sebutan Mushaf 'Utsmani.
Budaya tulis menulis adalah budaya yang tak lekang oleh waktu. Maka tidaklah mungkin Allah tidak menitahkan manusia untuk menulis. Atas dasar sangat pentingnya tulis-menulis dalam hal kenegaraan, maka dibentuklah pusat administrasi pada masa Khalifah kedua, Amirul Mukminin Umar bin Kaththab.
Pada masa itu, ada tiga macam lembaga yang disebut dengan diwan. Diwanul Insya' (kantor pembuatan surat kenegaraan), Diwanul Jaisy (pusat data personel militer), Diwanul Kharaj/al-Jibayah (pusat pengelolaan keuangan negara) untuk menginventarisasi pajak yang dikembalikan pada Baitul Mal dan pemberian yang diwajibkan atas setiap muslim -misalnya zakat.
![]() |
sumber gambar: dailysabah.com |
Sejatinya, lima ayat pertama yang turun sebagai wahyu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berisi perintah membaca dan menulis sekaligus. Di ayat ke-4 surah Al-'Alaq, "Yang mengajari manusia lewat perantara pena," menjelaskan bahwasanya manusia memang diajarkan sesuatu dari apa yang dibacanya.
Artinya setelah di awal manusia diperintahkan untuk membaca, kemudian setelah itu diperintahkan untuk menulis. Tanpa ada yang menulis, manusia tidak akan dapat melakukan kegiatan belajar mengajar.
Transfer ilmu akan berjalan lancar dengan adanya guru dan buku. Bila hanya guru, maka ilmu yang diajarkan akan menguap begitu saja. Bila hanya buku, maka sang murid ibarat berjalan tanpa petunjuk arah.
Imam Syafi'i pernah berkata, "Menuntut ilmu adalah berburu. Dan menulis adalah pengikatnya." Binatang buruan yang ditangkap namun tidak diikat, sewaktu-waktu akan melarikan diri. Begitu pula ilmu yang kita dapatkan dan tidak dicatat, maka sewaktu-waktu akan lupa, dan sulit lagi untuk mencarinya.
Ibnu Batutah menulis catatan perjalanannya melancong ke berbagai pulau, sehingga menginspirasi banyak pelaut setelah zamannya untuk melancong lebih jauh dan mendalami pulau yang mereka kunjungi.
R.A. Kartini namanya dikenang sepanjang sejarah Republik Indonesia. Bukan karena jasanya membangun sekolah layaknya Dewi Sartika atau Rahmah El-Junusijah, bukan berjuang di medan perang laksana Tjut Njak Dien atau Laksamana Keu Malahayati, namun karena tulisan-tulisannya kepada Nyonya Abendanon. Setelah dikumpulkan, jadilah sebuah buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Versi Melayunya disadur oleh Armijn Pane dan kita kenal sekarang dengan Habis Gelap Terbitlah Terang.
Artinya setelah di awal manusia diperintahkan untuk membaca, kemudian setelah itu diperintahkan untuk menulis. Tanpa ada yang menulis, manusia tidak akan dapat melakukan kegiatan belajar mengajar.
Transfer ilmu akan berjalan lancar dengan adanya guru dan buku. Bila hanya guru, maka ilmu yang diajarkan akan menguap begitu saja. Bila hanya buku, maka sang murid ibarat berjalan tanpa petunjuk arah.
Imam Syafi'i pernah berkata, "Menuntut ilmu adalah berburu. Dan menulis adalah pengikatnya." Binatang buruan yang ditangkap namun tidak diikat, sewaktu-waktu akan melarikan diri. Begitu pula ilmu yang kita dapatkan dan tidak dicatat, maka sewaktu-waktu akan lupa, dan sulit lagi untuk mencarinya.
Ibnu Batutah menulis catatan perjalanannya melancong ke berbagai pulau, sehingga menginspirasi banyak pelaut setelah zamannya untuk melancong lebih jauh dan mendalami pulau yang mereka kunjungi.
R.A. Kartini namanya dikenang sepanjang sejarah Republik Indonesia. Bukan karena jasanya membangun sekolah layaknya Dewi Sartika atau Rahmah El-Junusijah, bukan berjuang di medan perang laksana Tjut Njak Dien atau Laksamana Keu Malahayati, namun karena tulisan-tulisannya kepada Nyonya Abendanon. Setelah dikumpulkan, jadilah sebuah buku yang berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Versi Melayunya disadur oleh Armijn Pane dan kita kenal sekarang dengan Habis Gelap Terbitlah Terang.
Pelajaran dari Buku Kehidupan: Membaca Adalah Titah Tuhanmu
Menulis membuat seorang tetap hidup sepanjang zaman. Menulis membuat orang mendapat pahala yang terus mengalir -jika yang ditulis adalah ilmu yang bermanfaat- walau hayatnya telah tertimbun tanah.
Menulis adalah kerja keabadian. Sejarah akan menulis orang yang menulis. Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, "Semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna."
Tiada alasan bagi kita untuk tidak menulis. Potensi orang berbeda-beda, namun semua orang pasti bisa menulis. Sesungguhnya syarat orang bisa menulis hanyalah satu: dia bisa membaca! Hanya itu.
Marilah kita renungkan sejenak pesan dari ulama terkemuka Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali: "Jika kau bukan anak raja, bukan pula anak seorang ulama besar, maka menulislah!"
No comments