Cerpen: Uang Kertas dari Kota


Uang Kertas dari Kota

Karya: Eva Destrianti (dengan selipan Bahasa Daerah SAM, Seluma)

 

            Suara televisi di pagi buta membangunkanku. Pastilah ayah yang sedang menonton ceramah favoritnya, di Pasar Minggu Kota Bengkulu ia selalu membeli kaset berisi ceramah dan diputar setiap hari. Aku paham sekali rutinitas ayah, sementara ibu sedang mencuci piring di sumur. Selesai masak untuk sarapan, ibu mencuci piring dan membersihkan rumah. Jika tak bangun kesiangan, aku sering membantu menyapu.

            “Ayah, mintak tanci, aku ndak belanjo?”[1] kutengadahkan tangan dengan wajah memelas.

            “Mintak ngan ibu bae.”[2] jawab ayah lalu menunjuk ibu yang berjalan ke kamar mengambil dompet.

            “Cubolah makan akap, jangan belanjo terus!”[3] aku tertawa, memang tak biasa sarapan di rumah. Pasti sakit perut jika aku makan nasi di bawah pukul tujuh pagi.

            Dengan rambut pendek yang dikuncir kuda dan seragam merah putih yang amat rapi, aku melangkahkan kaki ke Sekolah Dasar di depan rumah. Libur usai dan aku naik ke kelas tiga.

            Bersama teman-teman ketika jam istirahat, aku makan di kantin sekolah. Banyak sekali jualan makanan; kue, lontong, miso, dan es lilin. Dan hari ini aku bangga mengeluarkan uang kertas lima ratus rupiah untuk jajan, bisa kubelikan lontong sayur dan kerupuk.

            Di antara teman-teman, hanya aku yang punya Uang kertas lima ratus rupiah bergambar Orang Utan, sebab mereka biasa belanja dengan koin seratus dan dua ratus rupiah. Ini membuatku bangga pada ayah yang pergi ke kota untuk menjual sayur hasil panen di kebun.

            “Masiah banyak ndo tanci kertas kaba? Aku ndak nukar.”[4] kata temanku merayu. Saat ini masih belum banyak yang punya uang kertas lima ratus rupiah bergambar Orang Utan ini, jadi mereka ingin mendapatkannya.

            “Yak, banyak! Ndak beghapo lembagh?”[5] aku balik bertanya dengan nada sedikit menyombongkan diri. Di desaku, transaksi menggunakan uang kertas bergambar Orang Utan memang masih jarang. Entah karena memang belum masuk atau para orang tua hanya enggan memberikan pada anak-anaknya. Tapi setahuku, teman-teman jajan sehari menghabiskan koin dua ratus rupiah. Itu sudah mendapatkan kerupuk dan es lilin.

            “Selembagh bae, pagi batak awu?”[6]

            “Awu, aku batak akap pagi.”[7]

            Kami sepakat menukar uang, aku juga ingin melihat temanku senang karena memiliki uang kertas bergambar Orang Utan.

***

            Pulang dari sekolah aku tak ke mana-mana, hanya di rumah menunggu temanku datang untuk menggambar bersama. Ini adalah hobiku, dan kuajak beberapa teman kelas karena aku punya cat baru. Ayah membelinya di kota dan aku boleh meminjamkan pada teman selama tidak dirusak.

            “Ngambar tapolah yo alap ni?”[8] temanku tampak berpikir, akhirnya kami berdiskusi.

            “Ngambar beghuak di tanci limo ratus bae.”[9] usul seorang teman.

            “Nggup, sego nianan ngambar beghuak tu.”[10] sanggah yang lain.

            “Luak ini bae, kito ngambar tapo nyo kito ndak.”[11] aku menengahi. Kami akhirnya mulai menggambar, kebetulan sedang ada tugas dari guru. Gambar yang kami buat akan dikumpul besok pagi.

            “Alap nian cat kaba ni.”[12] komentar temanku memuji cat yang ayah belikan. Selain cat, aku juga punya pensil dan pena lucu. Ayah tahu sekali aku menyukainya. Ia lelaki yang hebat. Saat ayah jualan sayur di kota, ibu tidak ikut karena tidak ada yang menjagaku jika ayah dan ibu pergi. Di kebun kami ada terung, sayur katuk, petai, durian, pare, pucuk ubi, dan bagian lahan yang berair ditumbuhi kangkung. Ketika panen tiba, ayah bisa membawa sayur berkarung-karung ke pasar di kota. Untungnya lebih besar daripada dijual di desa.

            Ketika pulang dari kota, ayah pasti membelikanku oleh-oleh. Sebenarnya ibu yang memberi saran, sebab awal-awal dulu ayah tak membawa apa-apa untukku.

            “Maso ndo gango dikit kian oleh-oleh?”[13] aku ingat ibu pernah protes begitu.

            Di desa, kebun kami memang paling luas. Saat panen tiba biasanya ibu dan ayah meminta bantuan tetangga dan mereka tentu diupah. Sisa sayur yang akan dipasarkan di kota ibu jual dari rumah ke rumah dengan harga murah. Hitung-hitung berbagi katanya.

***

            “Ayah, masiah ado tanci beghuak? Kawan aku ndak nukar.”[14]

            “Masiah, ayah punyo.”[15] kali ini tidak dari dompet ibu, “Amun ado sisa tanci belanjo, tabungkah!”[16] saran ayah, aku mengangguk dan membawa uang kertas lima ratus rupiah ke sekolah.

            Temanku senang sekali ketika aku berbagi kebahagiaan dengan mereka, “Jangan dikerunyumkah tanci kaba!”[17] kataku, sebab aku ingat ayah selalu berpesan agar aku tidak meremas apalagi merusak uang kertas.

            “Mangko ngapo amun dikerunyumkah? Selamo ndo cabiak masiah pacak dibelanjokah.”[18] tanya seorang teman.

            “Itu tu kato ayah aku, ayah keruan jak di Presiden.”[19] aku bicara sekenanya. Teman-teman pun mengangguk paham. Kalau sudah membawa-bawa Presiden dalam percakapan, mereka langsung setuju.

Selain menyarankan untuk menabung, ayah memang sering memberi nasihat. Sementara ibu selalu membantu mengerjakan tugas sekolah saat aku kesulitan. Di rumah, aku memiliki celengan ayam dan isinya lebih banyak recehan. Jika sudah penuh nanti ingin kubelikan sepeda, pasti menyenangkan bisa bersepeda sepulang dari sekolah.

Ibu juga menabung namun lebih banyak uang kertas. Sementara ayah, mengoleksi uang kertas yang dibungkusnya menggunakan plastik bening. Uang-uang itu berjejer dalam bingkai kayu besar. Dan uang kertas lima ratus rupiah bergambar Orang Utan sudah ada di sana.

“Tak batan kekenangan nanti ni.”[20] ujar ayah dengan senyum di wajahnya. Seluruh uang kertas itu ayah dapatkan ketika bertransaksi menjual sayur di kota. Nanti, aku juga ingin ke kota dan melihat keramaian di sana. 


[1] “Ayah, minta uang, aku mau belanja...”

[2] “Minta sama ibu saja.”

[3] “Coba makan pagi, jangan belanja terus!”

[4] “Masih banyak tidak, uang kertasmu? Aku mau tukar.”

[5] “Ya, banyak! Mau berapa lembar?”

[6] “Selembar saja, besok bawa ya?”

[7] “Iya, aku bawa besok pagi.”

[8] “Menggambar apa ya bagusnya?”

[9] “Menggambar Orang Utan di uang kertas lima ratus rupiah saja.”

[10] “Tidak mau, sulit sekali menggambar Orang Utan.”

[11] “Begini saja, kita menggambar apa yang kita mau.”

[12] “Bagus sekali cat punyamu.”

[13] “Masa tidak ada sedikitpun oleh-oleh?”

[14] “Ayah, masih ada uang kertas bergambar Orang Utan? Temanku mau tukar.”

[15] “Masih, ayah punya.”

[16] “Kalau ada sisa uang belanja, tabungkan!”

[17] “Jangan diremas uang kertasmu!”

[18] “Kenapa memangnya kalau diremas? Selama tidak sobek, masih bisa dibelanjakan.”

[19] “Itu kata ayahku, ayah tahu dari Presiden.”

[20] “Untuk kenang-kenangan di masa depan.”

No comments